Cari Blog Ini

Minggu, 05 Juni 2011

Sebuah Surat Untuk Seseorang

Dari kami, sahabat yang telah kamu kecewakan
(Terjemahan bebas dari lagu "(Why) Keep Your Head Down" oleh Dong Bang Shin Ki)

Kau tahu? Sekarang adalah waktunya kami membalas semuanya!
Semuanya telah berakhir, meskipun kita belum memulai apapun yang berarti. Kau telah berubah, dan kami tidak tahu dan mengerti mengapa kau seperti ini karena kau tidak memberi alasan apapun. Orang-orang di sekitar melihat kami dan bertanya “Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau berubah menjadi seperti ini?” Kau tahu? Rasanya kamilah yang bersalah atas segala perubahan sikapmu itu.
Seandainya dulu kau bilang jika rasa sayang dan perhatian kami membuatmu tak suka, jika kejujuran kami membuatmu marah, maka kami akan berubah dan menjaga perasaanmu. Bukannya menghindar seperti ini kawan.
“Keep your head down!”
Rupamu sangat manis, namun hatimu adalah kebalikan dari penampilan luarmu. Dulu kami perhatian padamu karena kau adalah sahabat kami dan kami juga menyayangimu, namun sekarang kami akan membiarkanmu pergi dan berbuat sesuka hatimu. Meskipun didalam hati kami masih bertanya mengapa kau meninggalkan sahabat-sahabatmu dengan mudahnya? Mengapa kau memandang remeh dan tidak menghargai kami? Mengapa kau mengkhianati kepercayaan sahabat-sahabatmu?
Jika semua hal yang telah terjadi hanyalah sebuah mimpi, jika kita bisa kembali mengulang waktu dan memperbaiki segalanya. Namun hal itu tidak mungkin terjadi. Dan atas semua keputusan dan perbuatan yang telah kau terhadap kami, sebagai sahabatmu kami hanya bisa berdoa semoga kau selalu bahagia.
Dulu, kita selalu bahagia dan bangga karena bisa selalu bersama. Apapun yang dunia katakan tentang kita semua, kita masih bisa bertahan dan saling menguatkan satu sama lain. Karena kita mengatakan semua permasalahan yang kita hadapi, karena kita semua memiliki impian yang sama dan kita selalu bersama. Sekarang kami membiarkan kau berlalu meninggalkan kami, dan kami akan terus berjalan melewati hidup ini meskipun kau sudah tidak ada bersama kami lagi.
“Now I’m just chilling, feel like I’m healing”
Sekarang, semuanya sudah terlambat jika kau ingin kembali lagi. Kau tidak bisa kembali lagi, kami sudah terlanjur terluka dengan semua perlakuanmu yang seenaknya. Apa kau pikir kami akan terpuruk tanpa kau ada di tengah-tengah kami seperti dulu? Hal itu hanyalah khayalanmu saja, kami tidak pernah seperti itu sejak kau tinggalkan. Namun kenapa kau seperti ini sekarang??? Kami sudah berusaha mengingatkanmu sejak dulu, tapi kau tidak pernah berubah.
Hey! Kau adalah orang yang sangat-sangat tidak dewasa. Bagaimana jika kau bertemu dengan orang-orang yang tidak baik diluar sana?
“Keep your head down!”
Kau adalah gadis yang sangat cantik, tapi hanya itu saja. Tidak ada hal lain yang penting dan hatimu tidaklah secantik wajahmu. Kami telah tersakiti oleh semua tindakanmu, dan kami tersakiti karena rasa sayang kami kepadamu telah kau remehkan dan kepercayaan kami terlah kau khianati. Rasanya sakit, seakan jantung kami ditusuk ribuan belati.
Ha~, jangan mempermainkan orang-orang seperti itu lagi! Kau selalu menyebarkan kebohongan-kebohongan di depan kami. Siapapun yang melihatmu sekarang, dan dilihat dari sisi manapun kau adalah seorang manusia bermuka dua.
“Why why why?”
Mengapa perasaanmu yang dulu sangat lembut dan bercahaya seperti kristal sekarang berubah menjadi sekelam dan sekotor lumpur?
Sejujurnya, setelah kami melepaskanmu hati kami menjadi sakit. Kami kehilangan salah satu sahabat kami. Tapi kenyataan mengatakan kami tidak boleh terpuruk dan diam di tempat. Impian dan masa depan kami menunggu di depan sana, dan kami harus mengejarnya dengan penuh semangat. Setelah melepaskanmu pergi, kami akan kembali menjalani hidup seperti biasanya dan kami bisa kembali tertawa dan bahagia.
“But why why why?”
Perasaan khawatir kami padamu, masih tetap bertahan dihati kami. Sekeras apapun kami menyangkal bahwa kami sudah tidak lagi memperhatikanmu, kami tidak bisa. Padahal kami hanya ingin tersenyum lega, dan menghadapi masa depan yang jauh terbentang di depan sana.
“Why why~”
Kau mengabaikan perhatian yang kami berikan padamu dengan mudahnya. Apa kau berpikir bahwa diluar sana akan ada orang lain yang akan selalu ada untukmu dan selalu mengkhawatirkan dan memperhatikanmu?
“Why?”
Apa yang telah kau tinggalkan dan kau buang, kami tidak yakin bahwa kau sudah mengerti betapa berharganya hal itu. Jadi, tetaplah seperti itu dan LIHATLAH KAMI!
“Keep your head down!”
Perasaan khawatir itu sudah terhapus. Perasaan itu sudah pergi. Kau sudah pergi dan hilang dari hati kami, dan semua perhatian kami sudah tidak akan kami berikan lagi padamu. Lihatlah, suatu saat nanti kau akan engerti, betapa kami dulu menyayangimu. Meskipun kau membalas perasaan itu dengan luka yang kau berikan pada kami.

Selasa, 08 Maret 2011

Learning about South Korea

KOREA SELATAN
Siapa yang nggak kenal ama negara yg satu ini? Negara ini akhir-akhir ini melejit dengan entertainmentnya yang mulai merambah keluar negeri, dan negara kita tercintah Indonesia juga termasuk negara yang terkena imbas dari "Hallyu Wave" ya nggak?
Dan kalo sebagian besar masyarakat ditanya, "Apa yang kalian ketahui tentang Korea Selatan?" pasti ga jauh-jauh dari nama-nama penyanyi Korea, artis-aktor Korea dan juga judul-judul drama Korea, atau Park JiSUng, pemain sepak bola yg terkenal dari Korea ntu (author juga gitu kok!^^v). Tapiii ada yang tau nggak sih ama kebudayaan Korea Selata, ato letak geografis ato sejarah mereka?
Nah, biar kita lebih tau ttg negara yg satu ini yuk monggo kita baca-baca info ttg Korea Selatan yang juga dikenal dengan sebutan Negara Ginseng ini!
Ne, kajja chingudeul...
 
Kemajuan pesat di bidang teknologi dan ekonomi, tak membuat bangsa Korea lupa akan sejarahnya. Selain membangun Seoul World Cup Stadium yang megah dan mewah, Korea tetap melestarikan bangunan bersejarah. Setidaknya ada tujuh bangunan bersejarah yang terawat baik. Setidaknya terdapat empat istana raja, yakni Changdeokgung Palace, Changyeonggung Palace, Deosugung Palace, dan Gyeongbokgung Palace. Ada pula Namsangol Hanok Maeul (perkampungan tradisional Korea), Prehistoric Dwelling di Amsa-dong (hunian prasejarah), dan Istana Unhyeongung.
Beberapa museum berlokasi di Seoul. Museum Nasional, didirikan di Seoul pada 1945. Museum ini memiliki koleksi arkeologi Korea, kebudayaan, dan benda seni kuno. Cabang Museum Nasional berada di delapan kota besar. Seoul juga merupakan tempat bagi National Museum of Modern Art, the National Folklore Museum, dan the War Memorial Museum. Di antara bangunan bersejarah yang ada, pantas untuk ditengok adalah Namsangol Hanok Village, perkampungan khusus yang hanya ditempati orang-orang kaya Korea masa lalu. Namsangol Hanok Village ini dibangun sekitar tahun 1.400.
Terletak di daerah Jung-gu, Seoul, di belakang deretan gedung-gedung tinggi modern, pengunjung harus melewati pintu gerbang tinggi yang terbuat dari kayu kokoh untuk memasuki perkampungan ini. Sesaat melewati pintu, pandangan langsung tertuju ke Namsan (Gunung Selatan). Di Namsan ini terdapat Namsan Seoul Tower, menara tertinggi di Korea. Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan di Indonesia, Namsan tidak tepat disebut gunung. Ketinggiannya saja cuma 262 meter. Lebih cocok jika Namsan disebut bukit. Tapi, itulah Korea.
Berjalan sekitar 50 langkah dari pintu gerbang, lokasi Namsangol Hanok Village terasa makin lega. Lima rumah berbahan kayu dengan atap berbentuk kotak persegi ciri khas rumah tradisional Korea, tampak mengelilingi area tersebut. Rumah ini dibangun kembali dari rumah zaman Dinasti Joseon.
Hamparan rumput hijau dan kolam dengan air keperakan, menambah sejuk suasana di perkampungan itu. Burung-burung yang dibiarkan berkeliaran pun menyapa pengunjung dengan siulannya yang nyaring. Rumah orang kaya Korea masa silam, terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama yang berukuran lebih besar, ditempati oleh kepala keluarga. Sementara bagian kedua yang lebih kecil, menjadi tempat bagi istri dan anak-anak.
Orang Korea suka sekali makan kimchi, terutama orang tua. Serasa tak makan bila tanpa kimchi. Karenanya, di saat musim dingin, mereka menyimpan kimchi. Bahan baku kimchi yakni sayur-sayuran, tak mudah ditemui saat musim dingin. ”Kebanyakan orang Korea memiliki dua kulkas. Satu kulkas besar khusus untuk menyimpan kimchi, dan satunya lagi untuk bahan makanan sehari-hari,” jelas pemandu wisata asal Korea yang sudah mahir berbahasa Indonesia.
Semua bagian rumah ini dikelilingi pagar tinggi sekitar dua meter. Pagar tinggi ini membuat anak-anak tak bisa mengetahui suasana di luar rumah. Tak kurang akal, untuk bisa melihat kondisi di luar rumah, anak-anak main timbangan (neolttwigi). Dengan timbangan itu, mereka dapat melompat tinggi, sehingga mengetahui apa yang terjadi di luar rumah. Mainan anak-anak lainnya yang tersedia di lapangan utama Namsangol Hanok Village adalah yunnori — permainan tradisional terbuat dari kayu –, dan tuho anak panah.
Di akhir pekan, kompleks perumahan ini seringkali menggelar pernikahan tradisional Korea yang bertempat di rumah Bak Yeong Hyo. Seremoni pernikahan tradisional ini banyak digelar saat musim semi dan musim hujan, bukan di musim dingin (November-Februari). Taman tradisional yang layak dikunjungi adalah Yongsan Family Park. Taman yang juga berada di kota Seoul ini termasuk kompleks bangunan yang punya akar sejarah perjuangan. Tempat ini, pada tahun 1592, menjadi pangkalan militer tentara Jepang ketika menginvasi Korea atau yang dikenal sebagai Imjinwoeran War.
Pasukan militer PBB dan Amerika Serikat (AS) juga menjadikan kompleks ini sebagai markas selama pecah Perang Korea pada 1950. Sejak saat itu, lokasi ini menjadi tempat main golf tentara AS, hingga akhirnya diambil-alih oleh Pemerintah Metropolitan Seoul pada November 1992 untuk dijadikan taman publik. Secara historis, Korea sangat dipengaruhi kebudayaan Cina. Sekaligus, menjadi perantara masuknya kebudayaan Cina ke Jepang. Korea mengadopsi banyak kesenian Cina yang dipadu dengan inovasi, sehingga membuat kebudayaan Korea berbeda.
Selama beberapa abad, karya logam, seni pahat, lukisan, dan keramik tumbuh subur di seluruh Semenanjung Korea. Ajaran Buddha memberi sumbangan signifikan dalam bidang seni. Konfusianisme menitikberatkan akan pentingnya karya sastra, kaligrafi, serta lukisan. Masyarakat Korea mulai memasukkan budaya Barat setelah Korea membuka diri pada akhir tahun 1800-an. Selama pemerintahan kolonial Jepang (1910-1945), tradisi kebudayaan lokal sangat dikucilkan.
Walau begitu, masyarakat Korea tetap berusaha melestarikan kebudayaan mereka. Masyarakat Korea memberi apresiasi tinggi pada warisan kebudayaan mereka. Pemerintah memberikan dukungan terhadap kesenian tradisional dan kesenian modern, dengan mengucurkan dana dan program pendidikan serta menjadi sponsor bagi kompetisi pameran nasional setiap tahunnya.

yak, itulah sekilas ttg Korea Selatan yang authir ketahui. Ntar kalo ada info2 lainnya, bakalan author share lagi...^^
annyeong~~~...............

Senin, 29 November 2010

Lee JinKi-Kim HeeJin Your Name

Hello SHINee Love Stories


Cast : a. Lee JinKi (as reader)
        b. Kim HeeJin (a.k.a author)
        c. Lee TaeMin (as JinKi’s brother)
        d. Kim ‘Key’Bum (as JinKi’s bestfriend)
        e. Cho AhReen (as JinKi’s cousin)


I don’t know what to do
How do did you start love?
People who have loved please tell me


“Hyung….” Aku mengalihkan pandangan dari soal-soal kalkulus yang sedang aku coba kerjakan.
“Waeyo, TaeMin ah?” dia tidak segera menjawab, tapi aku tidak tega menanyakan lagi karena kulihat wajahnya yang terlihat malu dan ragu-ragu. Kenapa namdongsaeng-ku ini? Kenapa raut wajahnya terlihat aneh?
“Hyung, kau menyayangi AhReen-nuna?” aku tersentak kaget dengan pertanyaan TaeMin.
“Ma…maksudmu apa dengan pertanyaan itu? Dia kan sepupu kita, jadi aku menyayanginya…” aku mencoba berbohong. Apa maksud TaeMin menanyakan hal itu? Jangan-jangan dia…
“Hyung, apa kau menyayangi AhReen-nuna sebagai perempuan atau…?” lagi-lagi aku gelisah dengan pikiranku sendiri. TaeMin ah, kau menyukai AhReen kan? Aku bisa tahu itu dari sorot matamu.
“Aniyo…aku menyayangi dia hanya sebagai seorang saudara...” aku mengacak-acak rambut TaeMin sambil berusaha tersenyum. Entah kenapa perkataanku itu menyakiti perasaanku sendiri. Aneh bukan, perkataan yang kita ucapkan justru bisa menyakiti hati kita sendiri?
Sejenak, TaeMin menoleh ke belakang. Ada apa dengannya? Mungkinkah AhReen mendengar perkataanku? Tapi, bukankah dia sedang pergi ke toko seberang untuk pergi membeli sesuatu?
“Hyung, aku…aku menyukai AhReen-nuna… eottoehkaji?” ah, benar dugaanku. Aku hanya bisa tersenyum sebagai jawaban pertanyaannya. Aku pun tidak tahu, TaeMin… Aku tidak bisa memberitahumu.
Kami terdiam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Eottoehkaji? Seperti TaeMin, aku juga tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Haruskah aku mengatakan pada TaeMin bahwa aku juga menyayangi AhReen? Aku melirik bungkusan plastik yang terdapat di sudut kamarku. Sebulan lagi AhReen ulang tahun, dan aku bahkan sudah menyiapkan kadonya sejak jauh-jauh hari. Aku tidak tahu perasaanku pada AhReen seperti apa. Selama ini aku menganggap bahwa perasaanku padanya hanyalah perasaan sayang sebagai seorang kakak ke adiknya. Ya, AhReen adalah sepupuku dan TaeMin. Selama ini dia tinggal di Daegu, sampai tahun lalu dia diterima kuliah di Seoul University dan dia pindah ke rumah ini bersama kami. Awalnya dia menolak tinggal bersama kami, tapi ayahku memaksanya. Alasannya agar AhReen tidak perlu repot-repot menyewa apartemen lagi, dan juga ayah sudah menganggap AhReen seperti anaknya sendiri. Di rumah ini, hanya ada aku dan TaeMin. Ayahku lebih sering bepergian ke seluruh negeri akibat bisnis perhotelannya yang semakin merambah ke mana-mana dan membutuhkan perhatian penuh dari ayah. Sementara ibu kami sudah meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Pengurus rumah tangga pun hanya datang seminggu sekali untuk membersihkan rumah dan untuk mencuci pakaian. Ya, rumahku terasa sangat dingin dan muram, namun sejak AhReen datang, rumah ini terasa lebih hangat dan ceria.
Suara berisik dari dapur membuyarkan lamunanku. Ah, AhReen sudah pulang rupanya….
“Hyung, ayo kita makan! Hari ini katanya AhReen-nuna mau memasak curry rice untuk kita!” TaeMin menarik tanganku.
“Katakan padanya, hyung nggak nafsu makan. Tugas kuliah masih banyak!” aku merasa melihat kilasan binar di mata TaeMin. Ah, aku nggak mau memikirkan itu lagi! JinKi, masih banyak yang harus kau pikirkan, selain memikirkan perasaan yang nggak karuan ini tentunya!
Tak lama kemudian, TaeMin meninggalkan aku sendirian  di kamar. Mianhe, TaeMin ah… aku nggak jujur ke kamu, karena aku sendiri masih bingung dengan perasaanku.
Aku kembali menekuni tugas-tugas kuliahku. Aku menyukai belajar, tentu saja. Dan sebentar saja, aku sudah bisa menyingkirkan perasaan tak tenangku tentang AhReen dan TaeMin.
***
Sorenya, setelah perkuliahanku….
“Kau menyukai AhReen, hyung!” aku terkejut dengan perkataan KiBum.
“Mworago? Aku menyukainya?” aku mengulang kembali kata-katanya. Dan KiBum mengangguk dengan yakin. Selama ini jika aku sedang mengalami kesusahan, aku selalu berkonsultasi dengan KiBum, hoobae-ku di kampus. Kami sangat dekat, karena kami tergabung dalam klub dance dan juga paduan suara. Sehingga saat aku mempunyai masalah, aku selalu meminta pendapatnya. Seperti saat ini, saat aku menceritakan kegelisahanku tadi malam pada KiBum.
“Key sshi, maaf bisa kami minta tolong sebentar?” seorang yeoja, yang menurutku lumayan cantik, memanggil KiBum.
“Hyung, sudah dulu ya!” pamitnya. “Oh ya, pesanku sebaiknya kau jujurlah pada diri sendiri dan sekelilingmu, karena ketertutupanmu malah membuat beberapa orang tersakiti!”
Lagi-lagi aku dibuat melongo oleh KiBum. Oh ya, selama ini KiBum dipanggil Key oleh teman-temannya karena di klub dance maupun paduan suara kampus, banyak yang bernama sama seperti dia, Kim KiBum. Aku kembali berpikir, benarkah aku tidak jujur pada diriku sendiri dan orang lain? Apa aku terlalu tertutup? Molla… aku nggak tau.
Aku memandang piano yang terletak di sudut ruangan. Piano ini biasanya di gunakan oleh MinYoung-songsaenim untuk mengiringi latihan paduan suara kami. Aku menghampiri piano itu, dan tak lama kemudian aku menarikan jari-jariku di tuts-tuts piano ini tanpa tahu lagu apa atau nada yang mana yang aku mainkan. Hal ini biasanya aku lakukan saat aku sedang gundah, seperti sekarang ini. Dan lagi-lagi aku merasa sedikit lebih rileks. Aku memasuki duniaku yang lain, selain dunia belajar. Dunia yang aku rasa hanya milikku, dan dunia yang bisa aku kendalikan. Saat permainanku berakhir, aku mendengar seseorang bertepuk tangan. Aku melihat seorang perempuan bertepuk tangan dengan antusias dan dia sedang duduk bersila di panggung.
“Permainanmu bagus sekali, penuh dengan penghayatan!” pujinya. Entah kenapa, aku merasa dia mirip dengan seseorang yang aku kenal. Dia agak mirip dengan…AhReen? Aku cepat-cepat menggelengkan kepalaku, berusaha menghapus pikiran itu. Apa yang kau pikirkan, JinKi? Kenapa semua gadis berambut panjang dan ceria selalu kau kaitkan dengan AhReen?
“Waeyo? Kenapa kau menggeleng? Kau nggak suka dengan pujianku? Padahal permainanmu benar-benar bagus loh!” dia turun dari panggung dan menghampiriku. Aneh, sekarang sudah mulai memasuki musim panas di Korea, tapi kenapa dia memakai celana panjang dan kaus lengan panjang? Aku tahu bahwa ruangan ini sejuk lantaran mesin pendingin ruangan, tapi kalo di luar ruanan apakah dia tidak merasa kepanasan?
“Tuh kan, kamu merengut? Maafin deh, kalo aku buat kamu nggak nyaman…” nggak cuma pakaiannya, logat dan bahasa gadis ini juga sedikit aneh. Dari mana gadis ini?
“Hello, Kim HeeJin imnida!” dia menjulurkan tangannya. Aku memandangnya sekilas, tidak biasanya perkenalan diawali dengan jabat tangan. Tapi aku membalas uluran tangannya.
“Lee JinKi imnida” ucapku. “O ya, kamu anak mana?”
“Waeyo? Naneun isange? Aku aneh ya?”
Aku menggeleng. Mungkin tanpa aku sadari aku tersenyum, karena dia juga tersenyum padaku.
“Aku sebenernya orang Korea, tapi karena dari kecil nggak tinggal di Korea, jadi banyak yang bilang kalo logat bicaraku aneh…”
“Memangnya selama ini kamu tinggal dimana?” entah kenapa, sejak melihat senyumannya, aku jadi ingin mengenal gadis ini lebih jauh.
“Pernah di Perancis, Jepang, Rusia, dan terakhir aku tinggal di Indonesia!” aku terkejut. Waw, hebat sekali gadis ini pernah tinggal di berbagai belahan dunia. Sementara aku sendiri, hanya pernah mengunjungi Jepang dan Inggris.
“Bukan, bukan seperti itu!” kepala gadis itu menggeleng keras. “Aku bukan gadis kaya yang bisa bepergian dan tinggal di manapun sesukaku! Aku hanya gadis biasa kok!”
Dia seakan bisa membaca pikiranku. “Lalu kau kenapa bisa tinggal di luar negeri?”
“Ayahku bekerja di kedutaan, jadi aku dan keluargaku selalu pindah-pindah rumah setiap kali ayahku dipindahtugaskan…”
Suara gadis ini, entah kenapa aku sangat menyukainya. Bukan seperti jenis suara yang enak di dengar seperti suara BoA atau YeEun Wonder Girls, tapi entah kenapa aku merasa suara dan nada bicaranya merupakan perpaduan yang enak di dengar. Dan tanpa ku sadari, aku jadi banyak mengobrol dengannya.
“Omo, udah malem! Aku harus pulang!” HeeJin menjerit histeris. Aku melihat jam tanganku, masih jam 8.30 malam, kenapa dia bilang sudah malam dan dia harus pulang?
“Udah ya, JinKi! Aku pulang dulu, annyeong!” kemudian dia berlari keluar dari ruang paduan suara. Tapi sebelum dia menjauh, aku berhasil memegan lengannya.
Saat dia menoleh dan memandangku keheranan, aku baru menyadari. Kenapa aku menahannya? Kenapa aku tidak membiarkan dia pulang?
“Waeyo, JinKi?”
“Emmm…rumahmu dimana? Biar aku  mengantarmu pulang!” dia mengerutkan keningnya. “Sebagai permintaan maaf karena membuatmu terlambat pulang?”
Dia tersenyum, kemudian mengangguk. “Boleh, gumawoyo…”
“HeeJin ah, rumahmu dimana?” tanyaku saat kami sudah di dalam mobil. Hari ini kebetulan aku membawa mobil ayah, karena aku mengatakan bahwa aku akan pulang malam.
“Di daerang JungGu…” jawab HeeJin pelan, namun membuatku terkejut.
“Kau tinggal di Namsangol?” Namsangol adalah kependekan dari Namsangol Hanok Village, sebuah perkampungan khusus yang hanya ditempati orang-orang kaya Korea masa lalu.
HeeJin mengangguk. “Udah dong nggak usah terkejut gitu!” HeeJin menggembungkan pipinya.
Dari sepengetahuanku hari ini, saat dia menggembungkan pipinya berarti dia sedang kesal. Sama seperti AhReen, dia juga menggembungkan pipinya saat dia sedang kesal atau merajuk. Ah, lagi-lagi aku memikirkan AhReen. Kenapa denganmu, JinKi? Apa kau tidak bisa tidak memikirkan AhReen untuk sehari saja?
“Aniyo, aku tidak terkejut kok!” aku mencoba mengelak.
“Ya, JinKi sshi!” bentaknya. Meskipun dia dua tahun lebih muda dariku, tapi dia tidak memanggilku oppa seperti hoobae-hoobae yang lain. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku hanya menaikkan sebelah alisku sebagai jawaban dari teriakannya.
“Kenapa kau berbohong?”
“Hmmm? Aku berbohong?”
“Ne, kau berbohong!” ucapnya sekali lagi.
Aku hanya tersenyum saat melihat keyakinannya. Saat itu lampu merah, jadi aku menghentikan mobil dan melihat dia lekat-lekat.
“Marhaebwa, aku berbohong tentang apa?”
“Dirimu!” ucapan HeeJin membuatku tertegun. Benarkah aku berbohong?
“Kamu mungkin nggak menyadarinya, tapi kamu telah lama berbohong pada dirimu sendiri. Kau tahu? Saat aku mendengarkan permanian pianomu tadi, aku tahu kalo kamu lagi sedih…” entah kenapa, nada suaranya terdengar sedih.
“Kau tahu dari mana tentang perasaanku?” aku tidak berani menatap matanya, dan aku hanya bisa memandang lurus ke arah jalan.
“Musik mencerminkan perasaan pemainnya!” lagi-lagi aku tertegun. Aku kembali ingat guru les pianoku saat kecil dulu, Lee SunWoong-songsaenim mengatakan bahwa musik adalah bahasa terjujur yang pernah ada. Saat memainkan alat musik apapun, perasaan pemainnya langsung bisa terasakan oleh pendengarnya. Saat pemainnya merasa sedih, meskipun ia memainkan lagu-lagu ceria namun orang yang mendengarkan permainannya bisa mengetahui perasaan pemain musik itu yang sebenarnya.
Dan sejak HeeJin mengatakan bahwa dia musik mencerminkan perasaan pemainnya, dia sama sekali tidak berbicara lagi. Dia terdiam seribu bahasa. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi saat aku lihat dia dari sudut mataku, tangan kanannya sedang menumpu dagunya, dan dia menggigit bibirnya.
“JinKin sshi, gumawoyo…kamu udah nganterin aku pulang!” HeeJin kembali tersenyum saat dia turun dari mobil. Aku mengangguk, tapi aku tidak tahu apakah aku tersenyum atau tidak padanya. Yang aku lakukan hanyalah terus memandanginya, namun saat dia akan masuk rumah aku malah keluar mobil dan memanggilnya.
“Jakkanman, HeeJin ah…” dia menoleh, dan memandangiku dengan tatapan penasaran.
“Ngngngng…besok bagaimana bila kita makan siang bareng? Aku ingin ngobrol banyak denganmu…” aku tahu ada yang tidak beres dengan diriku, karena hanya menunggu jawabannya saja aku gelisah dan deg-degan tidak karuan.
“Dengan syarat, kamu nggak boleh membohongi diri sendiri!” aku sangat senang mendengar jawabannya sehingga tanpa pikir panjan aku langsung mengiyakan persyaratannya.
“Ne, aku nggak akan membohongi diriku sendiri!” HeeJin tersenyum mendengar jawabanku. Aku sangat menyukai senyumnya itu dan aku juga ikut tersenyum padanya.
Dia kemudian masuk ke rumahnya, dan aku masih memandangi pagar rumanhnya yang setinggi dua meter itu dengan tersenyum. Aku teringat senyumannya yang sangat ku sukai. Senyum itu sangat mirip dengan senyuman AhReen, kedua senyuman gadis itu menimbulkan perasaan bahagia sehingga membuatku mau tidak mau juga tersenyum. AhReen dan HeeJin juga mempunyai latar belakang yang mirip. Kedua gadis itu pernah tinggal cukup lama di Indonesia, dan karena itu sifat mereka berdua agak mirip. Juga cara berpakaian mereka yang sopan dan nggak sembarangan menunjukkan bagian tubuh mereka. HeeJin tadi memberi tahuku bahwa dia tidak berpakain seperti gadis Korea kebanyakan karena dia terbiasa dengan pakaian gadis-gadis Indonesia yang cukup tertutup. AhReen pun terpengaruhi dengan gaya berpakaian gadis-gadis Indonesia sampai sekarang, meskipun dia sudah 4 tahun meninggalkan negara itu. Sambil tetap tersenyum, aku kembali mengingat-ingat persamaan kedua gadis itu. Tak ku kira, ternyata mereka berdua cukup mirip. Selain karena mereka sama-sama bertubuh mungil dna berambut panjang, mereka juga memiliki senyum yang mirip, dan juga sifat mereka yang ceria, perhatian dan juga cerewet.
Aku kemudian melirik ponselku, dan tak sadar bahwa aku sudah satu jam sudah di depan rumahnya. Aku pun segera menjalankan mobilku, kali ini aku mengarahkan mobil ke rumah, aku pun ingin pulang. Hmmm…sudah jam sepuluh malam, tapi Seoul, seperti kota metropolitan lain, masih tetap ramai, seakan-akan Seoul tidak pernah tidur sama sekali. Tapi meskipun Seoul tidak pernah tidur, angka kriminalitas di sini relatif rendah. Dan ngomong-ngomong tentang Seoul waktu malam, kenapa HeeJin tadi panik saat jam menunjukkan 8.30? Apakah dia memiliki jam malam dari orang tuanya? Aneh sekali, di jaman modern seperti in ternyata masih ada orang tua yang menerapkan jam malam untuk putrinya. Pengaruh budaya Indonesia kah? Tapi aku tidak ambil pusing, justru memikirkan bahwa HeeJin memiliki jam malam dan dia mematuhinya, berarti dia adalah cewek baik-baik dan punya sopan santu yang tinggi.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dengan perut perih. Aku ingat, saat pulang kemarin aku tidak sempat makan. Aku merasa sangat lelah dan aku langsung tertidur begitu kepalaku menyentuh bantal. Saat aku sarapan, aku berpapasan dengan AhReen. Aku heran, matanya sedikit sembab. Oh ya, AhReen sejak lahir memiliki mata yang besar lengkap dengan lipatan mata, jadi saat dia sehabis menangis, langsung kelihatan bahwa matanya sembab.
“AhReenie, kau kenapa?” tanyaku setelah aku selesai makan dan kudapati dia sedang menonton TV di ruang tengah. “Kamu nggak ada kuliah pagi?”
Dia hanya menggeleng pelan, dan terus menatap televisi. Tidak biasanya dia diam seperti itu. Pasti ada sesuatu yang mengganggu hatinya, sehingga dia terlihat muram seperti itu. Aku kemudian membelai rambutnya, berusaha menghibur hatinya. Biasanya, dia sangat senang jika aku membelai rambutnya dan tak lama kemudian dia akan tidur berbantalkan pahaku, menggelung badannya dan mulai cerita tentang segala sesuatu yang mengganjal di hatinya. Aku pun dengan senang hati mendengarkan ocehannya, sesekali menanggapi atau memberi saran, karena aku senang mendengar AhReen bercerita. Aku tahu kedengarannya aku seperti seorang ibu-ibu yang sedang mendengarkan cerita putrinya, tapi baik aku maupun AhReen menyukai hal ini, karena dengan hal ini, kami berdua bisa saling mengerti permasalahan satu sama lain dan bisa menjadi semakin dekat.
Tapi, sekarang AhReen tidak seperti biasanya. AhReen menepis tanganku yang sedang membelai rambutnya. Kemudian dia memeluk kakinya sendiri sambil menatap kosong ke arah layar televisi. Sepertinya AhReen sedang tidak ingin di ganggu. Meskipun aku khawatir padanya, aku lebih baik pergi ke kampus saja. Sebenarnya satu jam lagi aku harus ada latihan di klub dance, jadi dengan kepala masih penuh dengan kekhawatiran pada AhReen, aku pergi ke kampus. Merasa tidak tenang, aku mengirim pesan ke TaeMin saat aku masih di dalam mobil.
TaeMin ah, kalau kau sudah selesai sekolah, segera pulang ke rumah! AhReen sedang tidak enak badan, sementara aku harus ke kampus.
***
Kau tahu hal apa yang paling membingungkan di dunia ini? Cinta. Jawaban klise memang, tapi aku sudah tidak bisa memikirkan apa-apa lagi saat kata-kata KiBum sekali lagi terngiang di kepalaku.
“Hyung, kau menyukai HeeJin? Lalu bagaimana dengan AhReen? Kau menyukai mereka berdua, kan?”
Sungguh pertama kali aku mendengar kalimat itu dari Key, aku menyangkal habis-habisan. Bagaimana aku menyukai dua orang disaat yang bersamaan? Aku sudah cukup yakin dengan diriku sendiri, bahwa aku menyukai AhReen. Tapi, bagaimana dengan HeeJin? Aku suka mengobrol dengannya. Saat ada bersamanya, seakan semua hal yang dia bicarakan berubah menjadi hal yang paling penting di dunia ini. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari cuaca akhir-akhir ini yang mulai tidak menentu, liburan kuliah yang hampir tiba, sampai membicarakan jumlah fans DBSK yang terus berkurang (HeeJin sangat menyukai DBSK, dan dia mendaftar sebagai salah satu anggota fansclub resmi mereka). Berbicara dengan HeeJin seakan mengalamin time warping, kami tidak akan sadar bahwa waktu sudah lama terlewat sampai langit berubah gelap, ataupun karena telpon dari ayahnya yang mengingatkan tentang jam malam HeeJin. Ya, orang tua HeeJin masih menerapkan aturan jam malam untuk putri mereka satu-satunya ini. Oh ya, ngomong-ngomong HeeJin ternyata mempunyai kakak laki-laki yang setahun lebih tua dari pada dia. Dan aku baru tahu bahwa kakak laki-laki HeeJin itu adalah Kim JongHyun, hoobae-ku di kampus dan dia juga tergabung dalam klub paduan suara kampus. Aku tidak begitu mengenal Kim JongHyun, karena pembawaannya yang seperti tuan muda kaya dan dia seorang yang pendiam. Kapan-kapan aku harus berkenalan lebih dekat dengan JongHyun, hmmm…mungkin KiBum bisa membantuku nanti.
Aku melihat TaeMin sedang membantu AhReen di dapur. Kedua orang itu berisik sekali, entah apa yang mereka lakukan di dapur. Sesekali terdengar bentakan AhReen, mungkin karena TaeMin sering menjahilinya karena tak lama kemudian terdengar suara tawa TaeMin, dan disusul oleh gerutuan AhReen. Untunglah AhReen sudah baik-baik saja. Aku kembali teringat peristiwa minggu lalu saat aku terpaksa meninggalkan dia ke kampus sementara dia terlihat sangat murung di rumah, saat aku kembali ke rumah dia masih tetap murung dan tidak beranjak dari ruang tengah. Untunglah sekarang dia sudah bisa tersenyum dan kembali ceria seperti biasanya. Aku tersenyum lega melihat kedekatan mereka berdua. AhReen sesekali merengut pada TaeMin, tapi tak lama kemudian wajahnya sudah penuh dengan senyuman lagi. Sementara TaeMin, ekspresi wajahnya penuh dengan keceriaan dan kegembiraan. Hmmm…rupanya begitu ekspresi orang yang sedang jatuh cinta ya? Penuh dengan kegembiraan jika ada di dekat orang yang mereka sayangi.
Tapi…tunggu dulu! Bukankah aku juga menyukai AhReen? Lalu kenapa aku tidak merasa cemburu dengan kedekatan mereka berdua sekarang? Aku tidak pernah merasa iri, ataupun sebagainya pada TaeMin, seperti biasanya yang terjadi pada orang lain. Setidaknya itu yang aku ketahui lewat novel-novel yang dulu aku baca. Lalu, apakah aku masih menyukai AhReen? Atau selama ini rasa sayangku padanya bukanlah rasa sayang seperti yang aku kira selama ini?
I don’t know what to do
How do did you start love?
People who have loved please tell me

***
“Aku tidak tahu hyung, yang aku tahu saat aku bersama orang yang aku sukai aku sangat senang dan merasa bahagia. Seakan aku bersedia melakukan apa saja agar gadis itu bisa tersenyum, merasa bahagia dan tersenyum lagi. Tapi aku terkadang juga merasa cemburu saat dia sedang bersama namja lain, terlihat bahagia dengan namja lain, bukannya denganku…” jawaban KiBum lagi-lagi membuatku tertegun. Benarkah apa yang dia katakan? Lalu apakah sebenarnya yang aku rasakan pada AhReen?
“Apakah hyung pernah merasa cemburu saat dia dekat dengan namja lain?” KiBum balik menanyaiku saat aku bertanya tentang perasaanku pada AhReen.
“Rasanya…tidak!”
“Apa hyung merasa bahagia saat bersama AhReen?”
Aku mengangguk.
“Hyung menyukai saat-saat bersama AhReen?” lagi-lagi aku mengangguk sebagai jawaban.
“Lalu apa hyung pernah merasa bahwa kebersamaan denga AhReen terasa begitu cepat? Seakan kau mengalami time warping dan kau tidak pernah ingin berpisah darinya?”
Aku terdiam sedikit lama, rasanya aku tidak mengalami hal itu saat bersama AhReen. Justru aku merasa mengalami time warping saat bersama HeeJin.
“Kau tahu, hyung? Menurutku rasa sayangmu pada AhReen hanya sebatas rasa sayang seorang oppa pada yeodongsaeng-nya saja!”
Mwo? Apa yang dia katakan? Lalu….
“Hyung, kenapa kau mengernyit begitu? Kau memikirkan HeeJin juga?”
“Ne, aku juga memikirkan HeeJin. Apakah aku juga menganggap dia sebagai adikku? Nan molla…..”
KiBum tersenyum aneh, seakan senyumnya menyimpan sebuah rahasia. “Baiklah, aku akan menanyakan hal yang sama pada hyung! Apakah hyung pernah merasa cemburu saat HeeJin dekat dengan namja lain?”
Aku tertegun, memikirkan hal itu dan berusaha jujur pada diriku sendiri,seperti yang selalu dikatakan HeeJin.
“Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah melihat HeeJin dekat dengan namja lain sepengetahuanku” aku menjawab jujur.
“Tapi bagaimana seandainya dia di dekati oleh namja lain? Choi Minho dari jurusan Ilmu Hukum, misalnya?”
Entah mengapa gagasan ini tidak aku sukai. Aku tidak suka memikirkan HeeJin dekat dengan cowok lain, seperti cowok idola kampus Choi MinHo sekalipun.
KiBum tersenyum mendengar gagasanku.
“Apa hyung merasa bahagia saat bersama HeeJin?”
Aku mengangguk. Ya, aku merasa bahagia saat aku tahu bisa bersama HeeJin dan mengobrol banyak dengannya. Membayangkannya aku sudah merasa bahagia.
“Hyung menyukai saat-saat bersama HeeJin?” lagi-lagi aku mengangguk sebagai jawaban.
“Lalu apa hyung pernah merasa bahwa kebersamaan dengan HeeJin terasa begitu cepat? Seakan kau mengalami time warping dan kau tidak pernah ingin berpisah darinya?”
Untuk pertanyaan ini, aku mengangguk tanpa pikir panjang. Aku sering merasa seperti itu pada HeeJin.
“Kalau begitu sudah jelas! Hyung menyukai HeeJin sebagai seorang perempuan! Dan bukan sekedar suka, hyung juga menyayanginya!” KiBum tertawa lebar. Sepertinya puas dengan hasil analisisnya sendiri. Ah ya, aku lupa kalau KiBum ini adalah mahasiswa jurusan psikologi tingkat dua. Dia sepertinya sudah pintar menganalisis pikiran dan sifat orang.
“Aaaaiissshhh…aku belum sepintar itu, hyung! Masih kalah denga JeeHa!” ucapnya saat aku memuji analisisnya.
“Mwo? JeeHa? Nugueoyo? Teman kuliahmu?” aku menggodanya.
“Aniyoo…..dia bukan siapa-siapaku! Beneran, sumpah!” KiBum terlihat panik, mukanya sedikit memerah. Hmm..rupanya dia pun sedang jatuh cinta.
“Ya sudah, terserah kau lah! Oh ya, kita saling berjuang ya untuk mendapatkan cinta masing-masing!” aku kembali menggodanya, lalu aku melompat bangun dari kursi ruang klub ketika aku melihat kelebatan sosok HeeJin. “KiBum ah, gumawoyo! Sekarang aku sudah tidak ragu dan bingung lagi!”
Aku menghampiri sosok HeeJin dengan senyum lebar yang terkembang. Ya, sekarang aku yakin bahwa aku hanya menyukai HeeJin. Aku menyayanginya.
***
I’m entraced by your long, straight hair
I feel dizzy when you pass me by
Whenever the happens
I want to call out your pretty name, like this

Those red lips, those red sweet red lips of yours
My heart fluetters, I tremble more and more
Everytime I see you, I want to have you
Shall we have a cup of tea together and talk?

***
Aneh, hari ini HeeJin sangat aneh. Biasanya dia ceria dan cerewet, selalu membicarakan tentang segala hal yang menarik perhatiannya. Tapi hari ini dia berubah pendiam. Ada apa dengannya?
“HeeJin ah, waegeurae? Kenapa kau berubah menjadi pendiam? Padahal biasanya kau cerewet sekali?” akhirnya saat kami makan malam di salah satu kafe langganan kami, aku memberanikan diri bertanya. “Kau lagi dapat tamu bulanan?”
HeeJin malah mendelik marah padaku. Aku hanya bisa nyengir. Bukankah biasanya para yeoja selalu gampang marah, kesal dan bad mood kalau tamu bulanannya datang ya? Itu sih yang aku ketahui dari AhReen…
“Oppa…” aku menatap matanya. Akhir-akhir ini HeeJin mulai memanggilku oppa, dan aku senang sekali meskipun aku tidak memberitahunya. “Kau nggak suka aku menjadi pendiam seperti ini?”
Pertanyaan aneh. Menurutku, aku tidak keberatan kalau dia tidak banyak bicara seperti dulu lagi karena keberadaannya di sampingku saja aku sudah bahagia. Tapi aku tidak menjawab dengan alasan itu. Aku masih takut untuk mengutarakan perasaanku padanya, aku takut dia merasa tak nyaman setelah itu padaku.
“Tidak apa-apa sekali-kali kau menjadi pendiam, tapi tentunya aku akan sangat kehilangan suara cerewetmu nanti!” aku mencoba bergurau, tapi kenapa HeeJin malah terlihat lebih murung? Apa aku salah ngomong?
“Oppa, besok aku mau potong rambut! Aku ingin mencoba potongan pendek!” dari nadanya, sepertinya dia meminta pendapatku.
“Kenapa? Aku lebih suka melihatmu berambut panjang. Kau terlihat lebih manis dengan rambut panjangmu…..”
Ah, lagi-lagi sepertinya aku salah ngomong karena HeeJin terlihat makin murung. Bahkan dia menggigit bibirnya sekarang, dan….hei dia menangis! Kenapa dia?
“HeeJin ah…kau kenapa? Ada sesuatu yang mengganjal hatimu? Marhaebwa….” Aku menggenggan lembut tangan HeeJin, tapi dia malah menghindar.
“Oppa, aku bukan dia…” dia mengucapkan kata-kata itu sambil tersendat-sendat menahan tangis. Dia? Dia siapa? Aku tidak mengerti meksudnya.
“Aku bukan gadis yang kau sayangi bukan? Aku hanyalah seorang gadis yang mirip dengan gadis yang kau sukai itu, oleh karena itu kau juga dekat dengan ku…” Aku memasang wajah bingung. HeeJin ah, aku tidak mengerti siapa yang kau maksud itu…
“Aku bukan AhReen, gadis yang Oppa sukai itu! Meskipun kami mempunyai penampilan yang mirip, tapi aku bukan dia Oppa! Aku bukanlah AhReenmu, aku HeeJin! Tak pernahkah kau memandangku sebagai HeeJin tanpa bayang-banyang AhReen yang menyertai?”
Aku tersentak kaget dengan pertanyaan HeeJin barusan. Benarkah aku menganggapnya pengganti AhReen? Tidak, aku rasa tidak. Tapi, dari mana dia mempunyai gagasan itu? Dan dari mana dia kenal dengan AhReen? Jangan-jangan saat……
“Oppa, aku pulang!” HeeJin tiba-tiba bangkit dari duduknya.
“Kajima!”panik, aku mencoba menahannya.
“Setidaknya, Oppa boleh menemuiku lagi saat Oppa bisa jujur pada dirimu sendiri… tapi maaf, untuk sekarang ini biarkan aku sendirian!” setelah mengucapkan kata-kata itu, dia keluar dari kafe sementara aku hanya bisa termenung. Untuk memandangi punggungnya saja aku tak mampu. Benarkah aku masih belum jujur pada diri sendiri? Lalu, apa yang harus aku lakukan agar aku bisa jujur? Apakah aku menipu diri sendiri? Tapi aku yakin, aku menyayangi HeeJin bukan karena menganggap dia sebagai pengganti AhReen. Aku menyayanginya, sebagai seorang wanita. Aku menyukainya seperti seorang namja menyukai yeoja, bukan oppa pada youdongsaengnya. Aku menyayanginya, Tuhan……
“…gadis….kecelakaan…” samar-samar aku mendengar seseorang di kafe ini berteriak.
“Seorang gadis yang baru saja keluar dari kafe ini, tertabak truk yang melaju kencang. Badannya sampai terpental beberapa meter jauhnya. Sekarang dia…”
Seorang yeoja…baru keluar dari kafe…badannya terlempar beberapa meter… Bagai tersambar ribuan petir sekaligus, aku tersadar. HeeJin! HeeJin dimana? Lalu, tanpa memperhatikan teriakan pelayan kafe itu, aku berlari menuruni tangga. Bergegas keluar, berusaha melihat apakah gadis itu HeeJin. Berlomba dengan waktu… Kakiku tidak lagi menginjak tanah……
***
Sebuah taman, dengan langit yang memamerkan bintang-bintangnya. Sebuah hati yang tertinggal di sana….
Separuh jiwa yang terpaksa tercerabut dari badannya…
Aku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Pikiranku buntu, hanya tersisa raut wajah HeeJin yang bersimbah darah dan rasa bersalahku yang besar padanya.
Seandainya aku mencegahnya pulang saat itu…
Seandainya aku bersikap jujur lebih awal pada diriku sendiri dan pada HeeJin…
Seandainya aku tidak ragu pada perasaanku…
Seandainya aku bisa mengganti posisi HeeJin saat ini…
Seandainya…..
***
“Oppa, ada yang mencarimu!” aku sedang berkutat dengan tugas kampus di kamar ketika AhReen memanggilku.
“Siapa, Reennie?” tanyaku tanpa membalikkan badan.
Sejak kecelakaan yang menimpa HeeJin dua bulan lalu, aku menjadi sedikit pendiam. Dan sudah sebulan ini aku tidak lagi mengikuti kegiatan di klub universitas. Saat HeeJin masih koma, aku selalu menemaninya di rumah sakit, bergantian dengan kakak dan ibunya, tapi sejak dia sadar dari komanya seminggu kemudian, aku tidak mempunyai keberanian untuk bertemu dia. Aku masih takut bila aku tidak bisa jujur pada diriku sendiri.
Selama ini aku masih tetap bertanya-tanya, siapa yang aku sayangi sebenarnya. Dan aku masih belum menamukan jawaban yang pasti. Aku memang sering memikirkan HeeJin, tapi setelah itu aku juga memikirkan AhReen. Aku masih tidak tahu jawaban dari pertanyaanku, dan aku takut menyakiti HeeJin jika ternyata aku hanya memandangnya sebagai pengganti AhReen saja. Aku rela melakukan apa saja agar dia bisa hidup bahagia, termasuk jika aku harus hilang dari hadapannya dan juga dari hatinya.
“Aku, hyung!” terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku. Dan saat aku menoleh, aku melihat KiBum yang sedang berdiri di pintu kamarku.
“Ngapain kamu kesini?” aku cukup senang bertemu sahabatku yang satu ini, dan hey aku mendengar kabar kalau dia sedang mendekati seseorang di kampusnya.
“Bawa dia!” KiBum menolehkan kepala dan seketika tubuhku terasa membeku. Jonghyun, Kim JongHyun, kakak laki-laki HeeJin sedang menatapku tajam.
“JinKi sshi, aku boleh masuk kamarmu?” pamitnya dan aku menganggukkan kepala. Masih kaget karena kakaknya HeeJin datang menemuiku. Ada apa dengan HeeJin, sehingga JongHyun datang kemari? Apakah keadaannya tambah parah? Atau dia…..
Aku tak berani memikirkan kemungkinan selanjutnya. Yang aku lakukan hanya berdiam diri, memandangi JongHyun yang duduk di kasurku, tepat berhadapan denganku.
“JinKi sshi, kau mencintai HeeJin?” tanpa tedeng aling-aling JongHyun langsung menanyaiku tentang hal yang justru aku sendiri masih bingung. Tanpa sadar aku melirik ke arah pintu, disana AhReen sedang berdiri bersama KiBum. Aku tak mengerti arti tatapan AhReen padaku, yang aku tahu KiBum kemudian mengajak AhReen ke ruang tamu dan membiarkan aku bersama JongHyun.
“Kau tak bisa menjawabnya, karena kau juga mencintai sepupumu itu kan?”
“JongHyun sshi, apa maksudmu? Aku…aku…” ah, aku tak bisa menjawabnya. Aku masih bingung dan kalut dengan pikiranku sendiri. “Aku tidak tahu, perasaan macam apa yang aku rasakan pada adikmu. Yang aku tahu, aku ingin membahagiakannya. Aku ingin dia bisa hidup bahagia, meskipun itu artinya aku harus hilang dari hadapannya…”
BUGHGHGHG!!!
JongHyun memukul pipiku cukup keras. Pandangannya terlihat marah dan kesal.
“Dengarkan aku baik-baik, kau tahu apa yang terjadi dengan adikku kan? Kau tahu bahwa kau adalah penyebab adikku kecelakaan? Dan kau tahu, kau adalah penyebab adikku murung sampai sekarang! Dia terkapar di rumah sakit, tanpa adanya semangat hidup! Kau tahu siapa yang menyebabkan itu semua? KAU!!!!”
Aku tak bisa berpikir. HeeJin….HeeJin, dia….
“Kau tahu, ADIKKU MENCINTAIMU!!!” JongHyun berteriak frustasi. Bahunya bergetar, kemudian dia menghirup nafas dalam-dalam. “Aku tidak meminta banyak hal padamu. Aku tidak akan memintamu untuk mencintai adikku. Tapi aku memintamu untuk bersikap jujur pada dirimu sendiri, karena HeeJin selama ini mencemaskan sikapmu yang tak pernah jujur pada diri sendiri sehingga menyebabkan orang lain terluka.”
Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan atau aku katakan. HeeJin mencintaiku? Jadi itu penyebab dia murung hari itu? Alasan kenapa dia ingin memotong rambutnya, dan dia marah padaku karena dia mengira aku menganggapnya sebagai pengganti AhReen? HeeJin ah, kau tak tahu yang sebenarnya ku rasakan…
“JinKi sshi…” JongHyun terlihat sangat menderita. Aku tahu, dia sangat menyayangi adiknya, dan karena aku, adiknya sekarang menderita. “Aku minta padamu, temuilah adikku. Jika kau tidak menyayanginya, setidaknya katakan dengan jelas di hadapannya. Jangan biarkan dia menunggu dan terus menderita seperti ini…”
***
Keesokan harinya, aku memutuskan pergi ke rumah sakit tempat HeeJin dirawat. Namun sesanpainya aku di rumah sakit, aku tidak bisa membayang kan bagaimana aku harus bersikap. Tuhan, apa yang harus aku perbuat? Benarkah tindakanku ini?  Ku peluk buket bunga yang aku bawa untuk HeeJin agar aku bisa mendapat sedikit ketenangan.

Oke, JinKi kau tidak boleh nervous! Sekarang, atau tidak sama sekali!
Lalu, dengan langkah pelan aku perlahan mendekati ruang inapnya. Rasanya seakan-akan aku menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya. Aku berdiri di depan pintu bercat hitam dan menyenderkan punggung cukup lama. Tuhan, kenapa untuk melangkah masuk ke kamar ini saja aku tidak bisa? Kakiku sulit digerakkan, seperti kedua kakiku ini terbuat dari agar-agar saja.
JinKi, kau harus bisa! Jika tidak, aku akan kehilangan HeeJin untuk selamanya! Dengan gugup aku mengetuk pintu kamar itu.

Tok…tok…tok…
Lama tidak ada jawaban. Eottoehkaji? Apa HeeJin sedang keluar? Atau aku salah mengetuk kamar? Apa yang harus aku lakukan?
Aku tidak berani membayangkan jika seaindainya HeeJinlah yang membukakan pintu. Aku pasti akan tertunduk dan merasa bersalah. Laki-laki macam apa aku ini? HeeJin telah dirawat selama dua bulan disini dan aku sama sekali tidak menjenguknya. Padahal aku lah penyebab HeeJin terluka.
“Hyun-oppa, kenapa kau lama sekali baru kemba……”
HeeJin…HeeJin yang membukakan pintu untukku. Apa yang harus ku lakukan? Dia terlihat terkejut karena aku berdiri di depannya. Sepertinya dia akan mengatakan sesutau, tapi kemudian urung dan dia hanya menatapku. Tanpa sepengetahuannya, aku menyembunyikan buket bunga itu di balik punggungku. Aish, apa yang aku lakukan? Aku tidak sedang mengajaknya kencan kan? Lalu kenapa aku sembunyikan bunga itu di belakang punggungku? Dengan tangan yang aku rasa sedikit gemetar, aku memberikan bunga itu padanya.
“HeeJin ah, apa kabarmu? Maaf aku baru menjengukmu sekarang…” Tuhan, aku tidak ingin terlihat gugup di depannya, tapi kenapa suaraku terdengar bergetar?
“Ke…na..pa kau kesini?” aku tidak bisa menebak perasaannya. Dia terdengar terkejut, ragu dan sekaligus marah? Wajar dia marah padaku, aku yang menyebabkan dia seperti ini. “Lalu JongHyun-oppa kemana? Dia yang menyuruhmu kesini? Kau terpaksa bukan menjengukku? Aku tidak perlu kau kasihani! Aku tidak butuh belas kasihanmu!”
Bahunya terguncang, suaranya tiba-tiba serak.
Tuhan, apa yang aku lakukan padanya? Aku tidak ingin membutanya menangis, tapi sejauh ini yang aku lakukan padanya hanyalah terus membuatnya bersedih. Aku tidak ingin dia menangis, aku ingin dia tersenyum bahagia.
“JinKi sshi, tolong lepaskan aku. Aku tidak apa-apa…” dia kemudian mendorongku. Pelukanku terlepas. A…apa yang kulakukan? Tanpa sadar aku memeluknya. Sontak aku merasa wajahku sangat panas, seakan seluruh darahku naik ke kepala dan berkumpul di wajahku semua.
“Hihihi…JinKi sshi, kau tidak berubah ya?” HeeJin akhirnya tersenyum sambil mengusap sisa air matanya, senang rasanya dia bisa tersenyum lagi. Aku tidak suka melihat dia menangis ataupun sedih. “Mari, silahkan masuk!”
Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam kamar inapnya. Langkahnya sedikit pincang. Apakah karena kecelakaan itu? Selama ini aku tidak mendengar kabarnya sama sekali. Saat dokter menjelaskan padaku tentang kecelakaan dan luka-luka yang dia derita, aku sama sekali tidak memperhatikan. Aku terlanjur kebas, tidak memperhatikan sekeliling. Yang aku ingat saat itu hanya HeeJin, keselamatan HeeJin, serta beyangan tubuh dan wajah HeeJin yang berlumur darah di pinggir jalan.
“HeeJin ah, kakimu kenapa?” aku bertanya saat aku sudah duduk di depannya dan dia sudah kembali duduk bersadar di atas ranjangnya. HeeJin hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. Senyumnya lain, dia tersenyum pahit seakan menyembunyikan sesuatu.
“HeeJin ah, mianheyo…” aku memegang tangannya. JinKi, apa yang kau lakukan? Kenapa aku memegang tangannya? Aku kembali panik, dan segera melepas genggaman tanganku.
“JinKi sshi, kenapa raut wajahmu seperti itu? Kau merasa bersalah? Kenapa?” mata itu, mata yang sangat aku sukai. Mata yang bening dan memandang sesuatu dengan ketulusan yang terpancar jelas. Bibir mungilnya tersenyum…
Lalu tangannya menyapu wajahku lembut dan terhenti di pipi kiriku. Aku hanya tersenyum dan memegang tangannya yang sedang menyentuh wajahku. Kemudia aku mengambil tangan satunya yang bebas. Tangannya begitu mungil, dengan jari-jari kecil panjang lentik. Lalu entah keberanian darimana yang mempengaruhiku aku mengecup tangannya.
“Ji…Jin..JinKi sshi, apa maksudmu?” dia mencoba menarik tangannya, tapi kali ini aku bertekad tak akan melepaskannya lagi.
“HeeJin ah, saranghaeyo… Would you be my queen?” aku menatap matanya lembut, atau setidaknya itulah yang aku rasakan. Dia hanya menatapku terpana, lalu tersenyum bahagia. Pelan, dia menganggukkan kepalanya pertanda mengiyakan.
Niga paboya! Apa aku harus mengalami kecelakaan dulu baru kau mengatakannya?” ucapnya sambil tersenyum. Kulihat titik air mata di sudut matanya, aku akan menghapusnya tapi HeeJin menggeleng, mencegahku menghapusnya. “Aku menangis bahagia, tidak perlu kau hapus!”
Aku hanya tersenyum. Dan kemudian aku memeluk tubuhnya. Tuhan, terima kasih kau telah mendatangkan seorang wanita spesial bernama Kim HeeJin padaku.
***
Sometimes when you’re sad
I don’t know your feelings
During then, I kiss you
I kiss your small hands
If it makes you feel better
I would do I several times

Call me, my name
Today is exactly your day
I’ll do anything for you
I want to give you a small gift
That only I can give to you
I’ll run to you now and confess


-THE END-

Kamis, 18 November 2010

He Loves me Not

Aku sedang surfing di internet saat ponselku berteriak nyaring. Aku buru-buru mengambilnya. Ah, ternyata dari Sun Kyu, sepupu sekaligus teman sekamarku di asrama. Aku menggeser slide ponselku untuk mengangkat telponnya.
“Ah Reen, tolong bilangin Paman Han untuk membuka pintunya! Aku ada diluar dan pintunya gag bisa dibuka neh!” Sun Kyu langsung merengek di telpon.
“Iya, iya! Aku akan bilang Paman Han! Kamu sabar aja yah tunggu di depan!” aku hanya tersenyum sambil beranjak dari meja belajarku. Sambil berjalan menuju kamar Paman Han, penjaga asrama putri, yang terletak di lantai satu, aku melamun. Hhhhhhh………enaknya jadi Sun Kyu! Dia dan pacarnya selalu terlihat mesra. Kemana-mana berdua salau terlihat bahagia, dan orang-oarang langsung tau kalo mereka itu sepasang kekasih. Tidak seperti aku dan cowokku. Dia tidak pernah bersikap mesra padaku. Aku heran, apakah dia benar-benar mencintaiku?
Pintu kamar Paman Han terbuka sedikit. Dari dalam terdengar suara TV. Aku mengetuk pintu kamar Paman Han. “Paman Han, permisi! Aku mau pinjam kunci pintu depan! Sun Kyu baru saja pulang!”
“Oh, Ah Reen sshi[1]!” Paman Han melongok dari dalam kamarnya, lalu dia beranjak menuju lemarinya dan mengambil sebuah kunci. “Ini kuncinya, jangan lupa pintunya nanti dikunci lagi ya! Dan kunci ini harus dikembalikan padaku!” pesan Paman Han. Matanya terlihat merah dan  dari mulutnya tercium bau soju[2].
“Pamah, kau minum-minum lagi ya? Jangan terlalu banyak minum, tidak baik untuk kesehatanmu!” aku tersenyum sambil kembali menasihatinya tentang kebiasaan minumnya yang tidak pernah hilang. Paman Han hanya senyum sambil menggaruk-garuk bagian  belakang kepalanya. “Oh ya Paman, terima kasih ya!” aku menggoyang-goyangkan kunci yang ada di tanganku sambil berlari ke pintu depan.
Saat aku ada di pintu depan, aku melihat Sun Kyu dan Zhou Mi, cowoknya, sedang duduk di kursi depan, kepala Sun Kyu diletakkan di bahu Zhou Mi. Dan lagi-lagi aku merasa iri melihat kemesraan mereka berdua. Aku berdehem untuk memberi tahu mereka berdua kalo aku ada di sini dan aku ngeliat mereka berdua. Sun Kyu langsung mengengkat kepalanya dari bahu Zhou Mi.
“Ah Reen! Gumawo[3]! Kamu udah bukain pintunya!” ucap Sun Kyu, lalu dia berdiri “Zhou Mi, aku masuk dulu yah!” ucapnya dengan nada manja. Ah, memang begitulah Sun Kyu kalo ngomong. Nadanya selalu manja. Tak heran kalo Zhou Mi sayang banget sama dia.
“Ya udah, kamu masuk dan langsung bobo ya! Love you, aein[4]!” ucap Zhou Mi sambil mengecup kening Sun Kyu. Ya ampuuuunnnn……bikin iri aja sihhhh…… Aku cuma geleng-geleng kepala melihat adegan ini  berlangsung tepat di depanku. Aku dan Sun Kyu langsung masuk dan tak lupa mengunci pintu dan mengembalilkannya ke Paman Han.
“Sun Kyu…..” panggilku saat aku dan dia menaiki tangga menuju kamar yang terletak di lantai lima.
“Sunny! Aku gag mau dipanggil Sun Kyu! Nama itu kampungan, Ah Reen!” Sun Kyu langsung memotong ucapanku sambil cemberut. Aku hanya mengangkat bahu. Dia berbalik menghadapku dan mulai berjalan mundur. “Ah Reen, sudah berapa kali aku bilang kalo orang-orang gag boleh lagi manggil aku Sun Kyu? Aku gag suka nama itu!” ucapnya, tapi dengan wajah tersenyum bahagia.
“Oke, oke! Sunny, aku cuma mau nanya kenapa kamu sekarang malah sering pulang di atas jam asrama? Sejak kamu dan Zhou Mi mulai pacaran bulan lalu, aku ngitung udah lima kali kamu pulang di atas jam sepuluh malam! Kamu tau sendiri kan, kalo pintu asrama dikunci jam sepuluh!”
Sunny memutar bola matanya. “Nnnnnggggg, abisnya Zhou Mi selalu ngajak aku kencan! Masa aku mau nolak ajakannya?” ucapnya lagi-lagi sambil tersenyum. Duh, susahnya kalo ngomong sama orang yang lagi falling in love! “Kamu sendiri emangnya gag pernah kencan sama Ki Bum sampe malem?”
Aku menggelengkan kepala.
“Wah, emang dasarnya kalian berdua itu anak rajin ya? Sampe kencan aja gag pernah melanggar jam malam asrama kita!” Sun Kyu tersenyum menggoda.
“Gimana mau melanggar jam malam kalo kita kencan tuh cuma makan atau pergi ke perpustakaan…….” Aku cuma nyengir kecut. Tapi itulah kenyataannya. “Aku sendiri pun bingung, apa dia itu bener-bener sayang sama aku atau cuma menjadikan aku tameng dari cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia……….”
“Yang bener? Ah Reen, kamu jangan ngomong gitu dong! Kan belum tentu Ki Bum sejahat itu!” ucap Sun Kyu sambil membuka pintu kamar lalu langsung merebahkan tubuh di ranjangnya. “Dia belom sempat ngajak kamu jalan mungkin gara-gara tugas dan kegiatan kampusnya yang seabrek!” tambah Sun Kyu lagi.
“Mungkin juga sihhhhh…….” Aku lalu kembali ke depan laptopku sambil ngerjain tugas kampus yang, emang bener kata Sun Kyu, seabrek banyaknya. Sambil mengetik paper, aku kembali teringat kejadian sore tadi. Entah kenapa, tapi aku bisa mengerjakan tugasku meskipun aku sedang melamun. Sore tadi, setelah selesai kuliah aku mengajak Ki Bum untuk makan malam bareng. Dia mengiyakan, tapi aku harus menunggunya karena dia harus memberi bimbingan pada adik kelasnya. Maklum, dia jadi asisten dosen untuk mata kuliah International Regimes dan International Politics System. Dia ada janji dengan juniornya untuk diskusi mata kuliah International Regimes di perpustakaan universitas. Aku akhirnya menunggu di perpus juga, tapi aku nunggu di lantai satu sementara dia dan kelompoknya diskusi di lantai empat. Cukup lama aku menunggu, sekitar tiga jam. Setelah itu aku dan Ki Bum langsung pergi makan ke resto favorit kita berdua. Dibilang favorit itu pun karena resto itu terletak di tengah-tengah antara Universitas Inha dan asrama putri tempat aku tinggal.
“Ayo kita pulang! Aku akan mengantarmu sampai di depan asrama!” ucap Ki Bum sesaat setelah kita selesai makan.
“Loh, kenapa? Kita kan baru aja selesai makan? Aku ingin mendengar ceritamu tentang diskusi tadi!” aku protes, karena kita baru aja selesai makan. Tapi dia udah mau pulang aja.
“Asrama kan di tutup jam sepuluh, dan sekarang udah jam setengah sepuluh! Aku gag mau kamu terlambat, Ah Reen…….” Ucap Ki Bum lembut. Aku hanya bisa diem saat dia ngomong kaya’ gitu.
“Ah Reen!” Sun Kyu tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Ada apa, Sunny?” aku berbalik menghadap Sun Kyu.
“Kamu kenapa sih? Dari tadi aku panggil kog malah ngelamun? Eh, kenapa kamu gag tanya langsung aja ke Ki Bum gimana sebenernya perasaannya ke kamu?” Sun Kyu mengangkat-angkat alisnya.
So desu ka?[5] I don’t think so…….” Aku mengangguk-angguk gag yakin.
“Yeeee…..aku kasih saran kog malah ragu-ragu? Udah, turutin aja saranku! Dari pada kamu terus-terusan ngerasa gag enak dan penasaran gimana sebenernya perasaan Ki Bum  ke kamu?” desak Sun Kyu.
Demo[6]……”
“Aduuuhhhh……gag usah banyak tapi-tapian! Dan jangan pake bahasa nenekmu lagi! Kamu ngerti sendiri dari kecil aku gag begitu suka bahasa Jepang!” Sun Kyu memotong ucapanku sambil cemberut. Melihat itu, aku tersenyum karena Sun Kyu punya pipi yang chubby, jadi kalo dia lagi cemberut pipinya kan terlihat tambah besar. “Lagian aku kan murni mau bantuin sepupuku tersayang  yang tinggal sendirian di Korea gara-gara orang tuanya bulan madu ke dua di Perancis!” ucap Sun Kyu sambil memutar bola matanya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku jadi teringat dengan kedua orang tuaku yang sekarang ada di Perancis. Mereka pergi ke sana karena mendengar kakek dari pihak mamaku sakit. Mamaku campuran Perancis-Jepang, dan sejak kecil tinggal di Perancis. Lalu mama mendapatkan pekerjaan di Seoul, lalu kemudian menikah dengan papa yang orang Korea asli. Sejak kecil mama tinggal di Perancis, tapi dia tetap diajari bahasa Jepang oleh nenek yang orang Jepang. Dan aku yang sejak lahir sampai kuliah tinggal di Korea, juga diajari bahasa Perancis dan Jepang oleh mama. Gag heran, selain bahasa Korea dan Inggris, aku juga mahir berbicara dalam bahasa Jepang dan Perancis. Dulu waktu aku kecil, aku sempat diolok-olok teman-temanku gara-gara wajahku yang gag mirip papaku. Apalagi mataku yang gag ada sipit-sipitnya. Aku hanya mewarisi kulit putih dan bibir tipis serta pipi yang agak chubby dari papa. Sementara itu, mataku cukup lebar dan berwarna abu-abu, seperti mata mama dan kakek. Juga hidung mancung dan rambut coklat terang yang aku warisi dari gen kakek.

***

“Ki Bum sshi, sebenarnya apa artiku bagimu?” aku akhirnya menanyakan hal itu saat aku dan Ki Bum makan di cafè setelah nonton di bioskop.
“Apa maksudmu?” Ki Bum memandangku sekilas, lalu ia memalingkan wajahnya. Dan itu membuatku sedikit kesal.
“Aku bertanya padamu, apa artinya aku buat kamu? Apa aku hanya kau anggap sebagai kekasihmu atau aku hanya kau anggap sebagai tameng agar cewek-cewek di kampus tidak mendekatimu lagi?” aku bertanya dengan nada suara tinggi. Aku tidak memperhatikan tatapan orang-orang yang tertuju pada kami berdua.
“Ah Reen, apa aku perlu menjawab pertanyaan konyolmu? Sudahlah, cepat habiskan makananmu lalu aku akan mengantarmu pulang!” Ki Bum menjawab tanpa mellihat ke arahku. Tapi perkataan Ki Bum barusan seakan-akan menjawab semua pertanyaanku selama ini. Ternyata dugaanku tepat, dia tidak pernah menganggapku sebagai kekasihnya, aku hanya sebagai tameng untuknya agar dia tidak lagi didekati cewek-cewek.
Aku tidak ingin menangis di depannya, dan tanpa mengucapkan kata-kata apa pun aku bergegas meninggalkan cafè. Aku tidak memperdulikan saat aku bertabrakan dengan Sun Kyu dan Zhou Mi saat di pintu masuk. Yang aku inginkan saat ini adalah aku sendirian, dan aku tidak menginginkan orang lain. Namun, meski aku ingin sendirian pikiranku masih saja teringat pada Ki Bum. Aku berjalan sambil menangis, tidak ku pedulikan tatapan orang-orang padaku, aku hanya mengikuti kemana kakiku melangkah. Cukup lama aku berjalan, hingga aku menemukan taman dan aku duduk di salah satu kursi yang ada disana. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sebelahku.
“Maaf nona, aku memeperhatikan dari tadi anda menangis terus. Ada masalah?” tanya lelaki itu ramah. Aku terkejut karena tiba-tiba ada orang yang mengajakku berbicara. Aku menghapus air mataku dan mencoba tersenyum.
“Aniyo, ahjusshi[7]! Aku tidak apa-apa! Terima kasih sudah mengkhawatirkanku!”
“Oh, begitu? Syukurlah, karena aku berpikir bahwa kau menangis karena kau sedang bertengkar dengan kekasihmu!” ucap pria itu lagi. Dia mengulurkan sapu tangan, tapi aku menolaknya.
“Kamsahamnida, ahjusshi! Tapi aku tidak apa-apa! Aku baik-baik saja kog!” aku mencoba mengelak, tapi saat aku menatap matanya aku merasa lain. Yeah, mungkan karena tidak pernah ada laki-laki yang menatap matakku meski pun itu kekasihku sendiri Ki Bum. Ah, mengingat nama itu air mataku kembali mengalir tanpa bisa ku cegah.
“Nona, anda tidak apa-apa? Kalau kau ada masalah kau bisa menceritakannya padaku! Tidak apa-apa!” lelaki tersebut terdengar khawatir. Tapi entah kenapa aku malah ingin sekali bercerita pada lelaki asing ini. Lalu tanpa bisa aku hentikan lagi, aku menceritakan semua kesedihanku tentang sikap Ki Bum selama ini padaku, bahwa dia sama sekali tidak perhatian dan menunjukkan rasa sayangnya. Juga kekecewaanku karena jawabannya tentang pertanyaanku tadi, apa arti diriku bagi Ki Bum sendiri.
“Yah, aku turut sedih mendengar kisahu barusan! Dan, hei! Ku pikir wanita cantik sepertimu tidak pantas untuk pria menyebalkan seperti dia! Kau harus mendapatkan pria yang lebih baik, dan ku rasa banyak pria baik di luar sana!” lelaki itu mencoba menghiburku. Aku tersenyum simpul untuk menghargai usahanya, tapi tetap saja aku merasa bahwa akulah yang tidak cukup baik untuk Ki Bm sehingga aku tidak dicintai olehnya.
“Sudahlah, seka air matamu dan carilah lelaki baru! Tinggalkan saja dia, toh menurutmu dia tidak mencintaimu kan? Aku yakin suatu hari nanti kamu akan menemukan lelaki yang jauh lebih baik!” ucap lelaki itu sambil mengulurkan sapu tangannya kembali. Aku menyeka air mataku menggunakan sapu tangan pemberian lelaki itu, tapi sesaat kemudian mataku terasa perih dan kepalaku mulai terasa pusing.
“Ahjussi, kamsahamnida atas kesediaamu mendengarkan ceritaku dan juga nasihatnya! Kurasa sudah waktunya aku pulang, karena sekarang sudah larut malam! Sekali lagi jeongmal kamsahamnida!” aku membungkuk sedikit, karena kepalaku mulai berdenyut-denyut hebat. Ugh, mungkin aku terlalu banyak menangis.
“Hei, tunggu dulu! Kau mau meninggalkanku begitu saja? Mana imbalan atas usahaku mendengarkan ceritamu dan juga atas sapu tangan itu?!” lelaki itu berubah kasar, dia juga mencekal tanganku dengan keras.
“Ahjusshi, apa-apaan kau!? Lepaskan tanganku!” aku mulai panik.
“Sudahlah, tidak usah teriak seperti itu! Kau tahu sendiri kan di dunia in tidak ada yang gratis, dan aku ingin imbalan atas jasaku mendengarkan ceritamu barusan!!” lelaki itu mencoba memelukku.
Aku berontak tapi kekuatanku seakan-akan tidak ada artinya daripada kekuatan lelaki itu. Aku mulai berteriak dan menangis lagi, sementara lelaki itu berhasil memelukku. Kali ini dia berusaha menggerayangi seluruh tubuhku, tapi aku terus melawan dan berteriak minta tolong. Aku tidak ingin kehormatanku dirampas oleh orang yang tidak bertanggungjawab seperti lelaki ini. Dan sambil menangis dan menghindari tanga lelaki ini, aku memikirkan orang-orang yang kusayangi. Dan tanpa bisa ku kontrol wajah Ki Bum pun datang setelah wajah kedua orang tuaku. Aku terus menjerit dengan seluruh usahaku, mencoba meminta tolong pada orang-orang yang mungkin saja lewat.
Lalu tiba-tiba aku merasa pelukan lelaki itu terlepas, dan aku terjatuh ke tanah akibat rasa pusing yang masih menjerat. Aku seakan-akan melihat bayangan Ki Bum memukul lelaki itu, lalu seorang wanita mengangkat kepalaku dan menepuk-nepuk pipiku. Ah, Sun Kyu, aku pun sayang pada sepupuku ini. Kemudian terdengar jeritan dan segalanya menjadi hitam.

*******
Aku kembali tersadar dengan kepala yang masih terasa berat, dan hal pertama kali yang aku lihat adalah warna putih langit-langit sebuah kamar. Ugh, aku ada dimana? Langit-langit kamarku berwarna biru laut, bukan putih seperti ini. berarti ini bukan kamarku, lalu ini kamar siapa? Aku tidur dimana? Lalu ingatan tentang lelaki yang mencoba merampas kehormatanku kembali menyerangku, dan air mataku kembali mengalir. Aku ada dimana? Apa aku ada di kamar lelaki itu? Tidak! Tidak!! Itu tidak mungkin!!! Isak tangisku semakin keras sementara badan dan kepalaku masih terasa berat.
“Ah Reen, kamu kenapa? Ada yang sakitkah? Aku panggil dokter ya?” suara Sun Kyu terdengar khawatir. Aku menoleh ke samping dan ku temukan wajah Sun Kyu terlihat khawatir. Tangisku semakin keras saat aku menemukan wajah yang aku kenal. Dan Sun Kyu segera memelukku.
“Sssstttt……sudah kamu tidak apa-apa! Tidak ada yang akan menyakitimu lagi! Kami ada disini melindungimu!” ucapnya terdengar menenangkanku.
“Be..benarkah? In…ini dimana?” aku bertanya sambil terisak-isak menahan tangis.
“Kamu ada di Rumah Sakit Universitas Inha! Kamu semalam pingsan gara-gara kamu menghirup obat bius dalam jumlah yang banyak!” Sun Kyu mengusap-usap kepalaku. Tapi bagaimana dengan lelaki itu? Orang yang berusaha merampas kehormatanku? Apakah aku benar-benar selamat dari dia? Lalu bayangan Ki Bum tadi malam itu apakah hanya ilusi atau dia benar-benar menolongku?
“Kamu tenang saja, pria brengsek itu sudah dijebloskan ke dalam penjara! Sekarang ayahku sedang mengurusnya! Untung saja Ki Bum datang tidak terlambat!” Sun Kyu menjawab semua pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku seakan-akan dia bisa membaca pikiranku.
“Lalu, dimana Ki Bum sekarang? Dia baik-baik saja kan?” aku tidak bisa untuk tidak mencemaskan lelaki yang aku cintai ini.
“Sayangnya, Ki Bum sempat terkena luka tusukan di daerah perutnya! Sekarang dia ada di ranjang sebelahmu!” Sun Kyu tersenyum sompati dan menunjuk ranjang sebelah yang tertutup tirai. Aku menoleh, berharap tirai tersebut terbuka tapi ternyata tidak. Aku memandang Sun Kyu dengan tatapan bertanya.
“Ki Bum sedang diperiksa oleh dokter! Sebentar lagi juga selesai! Semalam dia nggak tidur, cuma buat nungguin kamu! Padahal luka tusukannya cukup serius!” Sun Kyu lagi-lagi menjelaskan hal yang aku pikirkan.
Tepat setelah itu, tirai yang memisahkan aku dan Ki Bum terbuka. Seorang dokter diiringi dua orang suster beranjak dari sana tanpa mengucapkan apa-apa. Dan setelah itu aku melihat Ki Bum yang sedang duduk di ranjangnya dan di sebelahnya ada Zhou Mi yang menjaganya. Ki Bum juga sedang melihat ke arahku, pandangannya yang penuh dengan rasa bersalah membuat air mataku kembali keluar. Melihat aku yang menangis lagi, Ki Bum malah turun dari ranjangnya. Dia dengan tertatih-tatih berjalan dan duduk di sisi ranjangku. Aku pun berusaha duduk, dibantu oleh Sun Kyu.
“Bagaimana keadaanmu?” aku mendengar nada khawatir dalam suaranya. Aku tidak berani meatap matanya sehingga aku hanya bisa menunduk, air mataku semakin deras mengalir dari kedua mataku, dan Ki Bum mengusapnya dengan lembut. “Ah Reen, jeongmal mianhe……”
“Ki Bum, Ah Reen! Kita berdua keluar dulu ya? Aku pikir kalian berdua perlu waktu berdua!” Sun Kyu dan Zhou Mi keluar dari kamar, meninggalkan aku dan Ki Bum berdua saja.
“Ah Reen, aku minta maaf! I’m so sorry, honto gomenasai, jeongmal mianhe……” Ki Bum berkali-kali mengucapkan kata-kata itu. Dia menempelkan dahinya ke dahiku. Aku menggeleng. Tidak, bukan kamu yang salah! Semua ini adalah kesalahanku! Aku terlalu egois dan childish, sehingga kita berdua seperti ini! Tapi aku tidak sanggup mengatakannya, aku hanya bisa menangis dan terus menangis.
“An…aniyo…… Aku yang salah, Ki Bum! Aku yang salah sehingga kamu terluka seperti ini!” akhirnya kata-kata ini keluar juga dari mulutku. “Jika aku tidak bersikap kekanak-kanakan pasti kejadian ini tidak akan terjadi!” aku menggeleng-geleng dengan keras. Kedua tangan Ki Bum menghentikan gelengan kepalakku, lalu dengan lembut dia mengangkat daguku sehingga mata kami bertemu.
“Ah Reen, listen to me! Aku yang seharusnya minta maaf, karena selama ini aku tidak pernah mengucapkan kata-kata cinta padamu. Itu karena aku orang yang kikuk dan tidak mudah mengucapkan kata-kata itu. Aku pikir, hanya dengan perbuatan dan perhatianku selama ini kamu sudah cukup mengerti tentang perasaanku. Aku yang seharusnya minta maaf, karena aku seakan-akan tidak pernah memperhatikanmu, mengacuhkanmu. Aku yang seharusnya minta maaf, karena tidak bisa menjawab pertanyaanmu  sewaktu di cafè, karena aku malu, disana banyak orang! Aku yang seharusnya minta maaf, karena aku yang menyebabkan kamu marah dan kamu nyaris diperkosa! Aku yang seharusnya minta maaf, Ah Reen! Bukan kamu!” Ki Bum mengucapkan kata-kata itu dengan lancar dan tegas sambil menatap kedua mataku. “Ah Reen,  listen to me for the last time………”
Ki Bum kemudian mengusap sisa-sisa air mataku, dia tetap menatap kedua mataku dan…”I love you, honey!”
Jantungku seakan-akan lepas dari tempatnya. Dan belum sempat aku menenangkan debaran jantungku, tiba-tiba sesuatu menyentuh bibirku. Sesuatu yang lembut, lembab dan hangat.
THE END


[1] Partikel yang biasanya diletakkan di belakang nama seseorang. Tidak mempunyai arti apa-apa
[2] Sejenis minuman keras di Korea
[3] Terima kasih
[4] Korean : Sweetheart
[5] Ooohhhh….gitu?(Japanese)
[6] Tapi (Japanese)
[7] Paman atau panggilan pada lelaki yg lebih tua yg tidak kita kenal(Korean.red)