Cari Blog Ini

Senin, 29 November 2010

Lee JinKi-Kim HeeJin Your Name

Hello SHINee Love Stories


Cast : a. Lee JinKi (as reader)
        b. Kim HeeJin (a.k.a author)
        c. Lee TaeMin (as JinKi’s brother)
        d. Kim ‘Key’Bum (as JinKi’s bestfriend)
        e. Cho AhReen (as JinKi’s cousin)


I don’t know what to do
How do did you start love?
People who have loved please tell me


“Hyung….” Aku mengalihkan pandangan dari soal-soal kalkulus yang sedang aku coba kerjakan.
“Waeyo, TaeMin ah?” dia tidak segera menjawab, tapi aku tidak tega menanyakan lagi karena kulihat wajahnya yang terlihat malu dan ragu-ragu. Kenapa namdongsaeng-ku ini? Kenapa raut wajahnya terlihat aneh?
“Hyung, kau menyayangi AhReen-nuna?” aku tersentak kaget dengan pertanyaan TaeMin.
“Ma…maksudmu apa dengan pertanyaan itu? Dia kan sepupu kita, jadi aku menyayanginya…” aku mencoba berbohong. Apa maksud TaeMin menanyakan hal itu? Jangan-jangan dia…
“Hyung, apa kau menyayangi AhReen-nuna sebagai perempuan atau…?” lagi-lagi aku gelisah dengan pikiranku sendiri. TaeMin ah, kau menyukai AhReen kan? Aku bisa tahu itu dari sorot matamu.
“Aniyo…aku menyayangi dia hanya sebagai seorang saudara...” aku mengacak-acak rambut TaeMin sambil berusaha tersenyum. Entah kenapa perkataanku itu menyakiti perasaanku sendiri. Aneh bukan, perkataan yang kita ucapkan justru bisa menyakiti hati kita sendiri?
Sejenak, TaeMin menoleh ke belakang. Ada apa dengannya? Mungkinkah AhReen mendengar perkataanku? Tapi, bukankah dia sedang pergi ke toko seberang untuk pergi membeli sesuatu?
“Hyung, aku…aku menyukai AhReen-nuna… eottoehkaji?” ah, benar dugaanku. Aku hanya bisa tersenyum sebagai jawaban pertanyaannya. Aku pun tidak tahu, TaeMin… Aku tidak bisa memberitahumu.
Kami terdiam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Eottoehkaji? Seperti TaeMin, aku juga tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Haruskah aku mengatakan pada TaeMin bahwa aku juga menyayangi AhReen? Aku melirik bungkusan plastik yang terdapat di sudut kamarku. Sebulan lagi AhReen ulang tahun, dan aku bahkan sudah menyiapkan kadonya sejak jauh-jauh hari. Aku tidak tahu perasaanku pada AhReen seperti apa. Selama ini aku menganggap bahwa perasaanku padanya hanyalah perasaan sayang sebagai seorang kakak ke adiknya. Ya, AhReen adalah sepupuku dan TaeMin. Selama ini dia tinggal di Daegu, sampai tahun lalu dia diterima kuliah di Seoul University dan dia pindah ke rumah ini bersama kami. Awalnya dia menolak tinggal bersama kami, tapi ayahku memaksanya. Alasannya agar AhReen tidak perlu repot-repot menyewa apartemen lagi, dan juga ayah sudah menganggap AhReen seperti anaknya sendiri. Di rumah ini, hanya ada aku dan TaeMin. Ayahku lebih sering bepergian ke seluruh negeri akibat bisnis perhotelannya yang semakin merambah ke mana-mana dan membutuhkan perhatian penuh dari ayah. Sementara ibu kami sudah meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Pengurus rumah tangga pun hanya datang seminggu sekali untuk membersihkan rumah dan untuk mencuci pakaian. Ya, rumahku terasa sangat dingin dan muram, namun sejak AhReen datang, rumah ini terasa lebih hangat dan ceria.
Suara berisik dari dapur membuyarkan lamunanku. Ah, AhReen sudah pulang rupanya….
“Hyung, ayo kita makan! Hari ini katanya AhReen-nuna mau memasak curry rice untuk kita!” TaeMin menarik tanganku.
“Katakan padanya, hyung nggak nafsu makan. Tugas kuliah masih banyak!” aku merasa melihat kilasan binar di mata TaeMin. Ah, aku nggak mau memikirkan itu lagi! JinKi, masih banyak yang harus kau pikirkan, selain memikirkan perasaan yang nggak karuan ini tentunya!
Tak lama kemudian, TaeMin meninggalkan aku sendirian  di kamar. Mianhe, TaeMin ah… aku nggak jujur ke kamu, karena aku sendiri masih bingung dengan perasaanku.
Aku kembali menekuni tugas-tugas kuliahku. Aku menyukai belajar, tentu saja. Dan sebentar saja, aku sudah bisa menyingkirkan perasaan tak tenangku tentang AhReen dan TaeMin.
***
Sorenya, setelah perkuliahanku….
“Kau menyukai AhReen, hyung!” aku terkejut dengan perkataan KiBum.
“Mworago? Aku menyukainya?” aku mengulang kembali kata-katanya. Dan KiBum mengangguk dengan yakin. Selama ini jika aku sedang mengalami kesusahan, aku selalu berkonsultasi dengan KiBum, hoobae-ku di kampus. Kami sangat dekat, karena kami tergabung dalam klub dance dan juga paduan suara. Sehingga saat aku mempunyai masalah, aku selalu meminta pendapatnya. Seperti saat ini, saat aku menceritakan kegelisahanku tadi malam pada KiBum.
“Key sshi, maaf bisa kami minta tolong sebentar?” seorang yeoja, yang menurutku lumayan cantik, memanggil KiBum.
“Hyung, sudah dulu ya!” pamitnya. “Oh ya, pesanku sebaiknya kau jujurlah pada diri sendiri dan sekelilingmu, karena ketertutupanmu malah membuat beberapa orang tersakiti!”
Lagi-lagi aku dibuat melongo oleh KiBum. Oh ya, selama ini KiBum dipanggil Key oleh teman-temannya karena di klub dance maupun paduan suara kampus, banyak yang bernama sama seperti dia, Kim KiBum. Aku kembali berpikir, benarkah aku tidak jujur pada diriku sendiri dan orang lain? Apa aku terlalu tertutup? Molla… aku nggak tau.
Aku memandang piano yang terletak di sudut ruangan. Piano ini biasanya di gunakan oleh MinYoung-songsaenim untuk mengiringi latihan paduan suara kami. Aku menghampiri piano itu, dan tak lama kemudian aku menarikan jari-jariku di tuts-tuts piano ini tanpa tahu lagu apa atau nada yang mana yang aku mainkan. Hal ini biasanya aku lakukan saat aku sedang gundah, seperti sekarang ini. Dan lagi-lagi aku merasa sedikit lebih rileks. Aku memasuki duniaku yang lain, selain dunia belajar. Dunia yang aku rasa hanya milikku, dan dunia yang bisa aku kendalikan. Saat permainanku berakhir, aku mendengar seseorang bertepuk tangan. Aku melihat seorang perempuan bertepuk tangan dengan antusias dan dia sedang duduk bersila di panggung.
“Permainanmu bagus sekali, penuh dengan penghayatan!” pujinya. Entah kenapa, aku merasa dia mirip dengan seseorang yang aku kenal. Dia agak mirip dengan…AhReen? Aku cepat-cepat menggelengkan kepalaku, berusaha menghapus pikiran itu. Apa yang kau pikirkan, JinKi? Kenapa semua gadis berambut panjang dan ceria selalu kau kaitkan dengan AhReen?
“Waeyo? Kenapa kau menggeleng? Kau nggak suka dengan pujianku? Padahal permainanmu benar-benar bagus loh!” dia turun dari panggung dan menghampiriku. Aneh, sekarang sudah mulai memasuki musim panas di Korea, tapi kenapa dia memakai celana panjang dan kaus lengan panjang? Aku tahu bahwa ruangan ini sejuk lantaran mesin pendingin ruangan, tapi kalo di luar ruanan apakah dia tidak merasa kepanasan?
“Tuh kan, kamu merengut? Maafin deh, kalo aku buat kamu nggak nyaman…” nggak cuma pakaiannya, logat dan bahasa gadis ini juga sedikit aneh. Dari mana gadis ini?
“Hello, Kim HeeJin imnida!” dia menjulurkan tangannya. Aku memandangnya sekilas, tidak biasanya perkenalan diawali dengan jabat tangan. Tapi aku membalas uluran tangannya.
“Lee JinKi imnida” ucapku. “O ya, kamu anak mana?”
“Waeyo? Naneun isange? Aku aneh ya?”
Aku menggeleng. Mungkin tanpa aku sadari aku tersenyum, karena dia juga tersenyum padaku.
“Aku sebenernya orang Korea, tapi karena dari kecil nggak tinggal di Korea, jadi banyak yang bilang kalo logat bicaraku aneh…”
“Memangnya selama ini kamu tinggal dimana?” entah kenapa, sejak melihat senyumannya, aku jadi ingin mengenal gadis ini lebih jauh.
“Pernah di Perancis, Jepang, Rusia, dan terakhir aku tinggal di Indonesia!” aku terkejut. Waw, hebat sekali gadis ini pernah tinggal di berbagai belahan dunia. Sementara aku sendiri, hanya pernah mengunjungi Jepang dan Inggris.
“Bukan, bukan seperti itu!” kepala gadis itu menggeleng keras. “Aku bukan gadis kaya yang bisa bepergian dan tinggal di manapun sesukaku! Aku hanya gadis biasa kok!”
Dia seakan bisa membaca pikiranku. “Lalu kau kenapa bisa tinggal di luar negeri?”
“Ayahku bekerja di kedutaan, jadi aku dan keluargaku selalu pindah-pindah rumah setiap kali ayahku dipindahtugaskan…”
Suara gadis ini, entah kenapa aku sangat menyukainya. Bukan seperti jenis suara yang enak di dengar seperti suara BoA atau YeEun Wonder Girls, tapi entah kenapa aku merasa suara dan nada bicaranya merupakan perpaduan yang enak di dengar. Dan tanpa ku sadari, aku jadi banyak mengobrol dengannya.
“Omo, udah malem! Aku harus pulang!” HeeJin menjerit histeris. Aku melihat jam tanganku, masih jam 8.30 malam, kenapa dia bilang sudah malam dan dia harus pulang?
“Udah ya, JinKi! Aku pulang dulu, annyeong!” kemudian dia berlari keluar dari ruang paduan suara. Tapi sebelum dia menjauh, aku berhasil memegan lengannya.
Saat dia menoleh dan memandangku keheranan, aku baru menyadari. Kenapa aku menahannya? Kenapa aku tidak membiarkan dia pulang?
“Waeyo, JinKi?”
“Emmm…rumahmu dimana? Biar aku  mengantarmu pulang!” dia mengerutkan keningnya. “Sebagai permintaan maaf karena membuatmu terlambat pulang?”
Dia tersenyum, kemudian mengangguk. “Boleh, gumawoyo…”
“HeeJin ah, rumahmu dimana?” tanyaku saat kami sudah di dalam mobil. Hari ini kebetulan aku membawa mobil ayah, karena aku mengatakan bahwa aku akan pulang malam.
“Di daerang JungGu…” jawab HeeJin pelan, namun membuatku terkejut.
“Kau tinggal di Namsangol?” Namsangol adalah kependekan dari Namsangol Hanok Village, sebuah perkampungan khusus yang hanya ditempati orang-orang kaya Korea masa lalu.
HeeJin mengangguk. “Udah dong nggak usah terkejut gitu!” HeeJin menggembungkan pipinya.
Dari sepengetahuanku hari ini, saat dia menggembungkan pipinya berarti dia sedang kesal. Sama seperti AhReen, dia juga menggembungkan pipinya saat dia sedang kesal atau merajuk. Ah, lagi-lagi aku memikirkan AhReen. Kenapa denganmu, JinKi? Apa kau tidak bisa tidak memikirkan AhReen untuk sehari saja?
“Aniyo, aku tidak terkejut kok!” aku mencoba mengelak.
“Ya, JinKi sshi!” bentaknya. Meskipun dia dua tahun lebih muda dariku, tapi dia tidak memanggilku oppa seperti hoobae-hoobae yang lain. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku hanya menaikkan sebelah alisku sebagai jawaban dari teriakannya.
“Kenapa kau berbohong?”
“Hmmm? Aku berbohong?”
“Ne, kau berbohong!” ucapnya sekali lagi.
Aku hanya tersenyum saat melihat keyakinannya. Saat itu lampu merah, jadi aku menghentikan mobil dan melihat dia lekat-lekat.
“Marhaebwa, aku berbohong tentang apa?”
“Dirimu!” ucapan HeeJin membuatku tertegun. Benarkah aku berbohong?
“Kamu mungkin nggak menyadarinya, tapi kamu telah lama berbohong pada dirimu sendiri. Kau tahu? Saat aku mendengarkan permanian pianomu tadi, aku tahu kalo kamu lagi sedih…” entah kenapa, nada suaranya terdengar sedih.
“Kau tahu dari mana tentang perasaanku?” aku tidak berani menatap matanya, dan aku hanya bisa memandang lurus ke arah jalan.
“Musik mencerminkan perasaan pemainnya!” lagi-lagi aku tertegun. Aku kembali ingat guru les pianoku saat kecil dulu, Lee SunWoong-songsaenim mengatakan bahwa musik adalah bahasa terjujur yang pernah ada. Saat memainkan alat musik apapun, perasaan pemainnya langsung bisa terasakan oleh pendengarnya. Saat pemainnya merasa sedih, meskipun ia memainkan lagu-lagu ceria namun orang yang mendengarkan permainannya bisa mengetahui perasaan pemain musik itu yang sebenarnya.
Dan sejak HeeJin mengatakan bahwa dia musik mencerminkan perasaan pemainnya, dia sama sekali tidak berbicara lagi. Dia terdiam seribu bahasa. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi saat aku lihat dia dari sudut mataku, tangan kanannya sedang menumpu dagunya, dan dia menggigit bibirnya.
“JinKin sshi, gumawoyo…kamu udah nganterin aku pulang!” HeeJin kembali tersenyum saat dia turun dari mobil. Aku mengangguk, tapi aku tidak tahu apakah aku tersenyum atau tidak padanya. Yang aku lakukan hanyalah terus memandanginya, namun saat dia akan masuk rumah aku malah keluar mobil dan memanggilnya.
“Jakkanman, HeeJin ah…” dia menoleh, dan memandangiku dengan tatapan penasaran.
“Ngngngng…besok bagaimana bila kita makan siang bareng? Aku ingin ngobrol banyak denganmu…” aku tahu ada yang tidak beres dengan diriku, karena hanya menunggu jawabannya saja aku gelisah dan deg-degan tidak karuan.
“Dengan syarat, kamu nggak boleh membohongi diri sendiri!” aku sangat senang mendengar jawabannya sehingga tanpa pikir panjan aku langsung mengiyakan persyaratannya.
“Ne, aku nggak akan membohongi diriku sendiri!” HeeJin tersenyum mendengar jawabanku. Aku sangat menyukai senyumnya itu dan aku juga ikut tersenyum padanya.
Dia kemudian masuk ke rumahnya, dan aku masih memandangi pagar rumanhnya yang setinggi dua meter itu dengan tersenyum. Aku teringat senyumannya yang sangat ku sukai. Senyum itu sangat mirip dengan senyuman AhReen, kedua senyuman gadis itu menimbulkan perasaan bahagia sehingga membuatku mau tidak mau juga tersenyum. AhReen dan HeeJin juga mempunyai latar belakang yang mirip. Kedua gadis itu pernah tinggal cukup lama di Indonesia, dan karena itu sifat mereka berdua agak mirip. Juga cara berpakaian mereka yang sopan dan nggak sembarangan menunjukkan bagian tubuh mereka. HeeJin tadi memberi tahuku bahwa dia tidak berpakain seperti gadis Korea kebanyakan karena dia terbiasa dengan pakaian gadis-gadis Indonesia yang cukup tertutup. AhReen pun terpengaruhi dengan gaya berpakaian gadis-gadis Indonesia sampai sekarang, meskipun dia sudah 4 tahun meninggalkan negara itu. Sambil tetap tersenyum, aku kembali mengingat-ingat persamaan kedua gadis itu. Tak ku kira, ternyata mereka berdua cukup mirip. Selain karena mereka sama-sama bertubuh mungil dna berambut panjang, mereka juga memiliki senyum yang mirip, dan juga sifat mereka yang ceria, perhatian dan juga cerewet.
Aku kemudian melirik ponselku, dan tak sadar bahwa aku sudah satu jam sudah di depan rumahnya. Aku pun segera menjalankan mobilku, kali ini aku mengarahkan mobil ke rumah, aku pun ingin pulang. Hmmm…sudah jam sepuluh malam, tapi Seoul, seperti kota metropolitan lain, masih tetap ramai, seakan-akan Seoul tidak pernah tidur sama sekali. Tapi meskipun Seoul tidak pernah tidur, angka kriminalitas di sini relatif rendah. Dan ngomong-ngomong tentang Seoul waktu malam, kenapa HeeJin tadi panik saat jam menunjukkan 8.30? Apakah dia memiliki jam malam dari orang tuanya? Aneh sekali, di jaman modern seperti in ternyata masih ada orang tua yang menerapkan jam malam untuk putrinya. Pengaruh budaya Indonesia kah? Tapi aku tidak ambil pusing, justru memikirkan bahwa HeeJin memiliki jam malam dan dia mematuhinya, berarti dia adalah cewek baik-baik dan punya sopan santu yang tinggi.
***
Keesokan paginya, aku terbangun dengan perut perih. Aku ingat, saat pulang kemarin aku tidak sempat makan. Aku merasa sangat lelah dan aku langsung tertidur begitu kepalaku menyentuh bantal. Saat aku sarapan, aku berpapasan dengan AhReen. Aku heran, matanya sedikit sembab. Oh ya, AhReen sejak lahir memiliki mata yang besar lengkap dengan lipatan mata, jadi saat dia sehabis menangis, langsung kelihatan bahwa matanya sembab.
“AhReenie, kau kenapa?” tanyaku setelah aku selesai makan dan kudapati dia sedang menonton TV di ruang tengah. “Kamu nggak ada kuliah pagi?”
Dia hanya menggeleng pelan, dan terus menatap televisi. Tidak biasanya dia diam seperti itu. Pasti ada sesuatu yang mengganggu hatinya, sehingga dia terlihat muram seperti itu. Aku kemudian membelai rambutnya, berusaha menghibur hatinya. Biasanya, dia sangat senang jika aku membelai rambutnya dan tak lama kemudian dia akan tidur berbantalkan pahaku, menggelung badannya dan mulai cerita tentang segala sesuatu yang mengganjal di hatinya. Aku pun dengan senang hati mendengarkan ocehannya, sesekali menanggapi atau memberi saran, karena aku senang mendengar AhReen bercerita. Aku tahu kedengarannya aku seperti seorang ibu-ibu yang sedang mendengarkan cerita putrinya, tapi baik aku maupun AhReen menyukai hal ini, karena dengan hal ini, kami berdua bisa saling mengerti permasalahan satu sama lain dan bisa menjadi semakin dekat.
Tapi, sekarang AhReen tidak seperti biasanya. AhReen menepis tanganku yang sedang membelai rambutnya. Kemudian dia memeluk kakinya sendiri sambil menatap kosong ke arah layar televisi. Sepertinya AhReen sedang tidak ingin di ganggu. Meskipun aku khawatir padanya, aku lebih baik pergi ke kampus saja. Sebenarnya satu jam lagi aku harus ada latihan di klub dance, jadi dengan kepala masih penuh dengan kekhawatiran pada AhReen, aku pergi ke kampus. Merasa tidak tenang, aku mengirim pesan ke TaeMin saat aku masih di dalam mobil.
TaeMin ah, kalau kau sudah selesai sekolah, segera pulang ke rumah! AhReen sedang tidak enak badan, sementara aku harus ke kampus.
***
Kau tahu hal apa yang paling membingungkan di dunia ini? Cinta. Jawaban klise memang, tapi aku sudah tidak bisa memikirkan apa-apa lagi saat kata-kata KiBum sekali lagi terngiang di kepalaku.
“Hyung, kau menyukai HeeJin? Lalu bagaimana dengan AhReen? Kau menyukai mereka berdua, kan?”
Sungguh pertama kali aku mendengar kalimat itu dari Key, aku menyangkal habis-habisan. Bagaimana aku menyukai dua orang disaat yang bersamaan? Aku sudah cukup yakin dengan diriku sendiri, bahwa aku menyukai AhReen. Tapi, bagaimana dengan HeeJin? Aku suka mengobrol dengannya. Saat ada bersamanya, seakan semua hal yang dia bicarakan berubah menjadi hal yang paling penting di dunia ini. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari cuaca akhir-akhir ini yang mulai tidak menentu, liburan kuliah yang hampir tiba, sampai membicarakan jumlah fans DBSK yang terus berkurang (HeeJin sangat menyukai DBSK, dan dia mendaftar sebagai salah satu anggota fansclub resmi mereka). Berbicara dengan HeeJin seakan mengalamin time warping, kami tidak akan sadar bahwa waktu sudah lama terlewat sampai langit berubah gelap, ataupun karena telpon dari ayahnya yang mengingatkan tentang jam malam HeeJin. Ya, orang tua HeeJin masih menerapkan aturan jam malam untuk putri mereka satu-satunya ini. Oh ya, ngomong-ngomong HeeJin ternyata mempunyai kakak laki-laki yang setahun lebih tua dari pada dia. Dan aku baru tahu bahwa kakak laki-laki HeeJin itu adalah Kim JongHyun, hoobae-ku di kampus dan dia juga tergabung dalam klub paduan suara kampus. Aku tidak begitu mengenal Kim JongHyun, karena pembawaannya yang seperti tuan muda kaya dan dia seorang yang pendiam. Kapan-kapan aku harus berkenalan lebih dekat dengan JongHyun, hmmm…mungkin KiBum bisa membantuku nanti.
Aku melihat TaeMin sedang membantu AhReen di dapur. Kedua orang itu berisik sekali, entah apa yang mereka lakukan di dapur. Sesekali terdengar bentakan AhReen, mungkin karena TaeMin sering menjahilinya karena tak lama kemudian terdengar suara tawa TaeMin, dan disusul oleh gerutuan AhReen. Untunglah AhReen sudah baik-baik saja. Aku kembali teringat peristiwa minggu lalu saat aku terpaksa meninggalkan dia ke kampus sementara dia terlihat sangat murung di rumah, saat aku kembali ke rumah dia masih tetap murung dan tidak beranjak dari ruang tengah. Untunglah sekarang dia sudah bisa tersenyum dan kembali ceria seperti biasanya. Aku tersenyum lega melihat kedekatan mereka berdua. AhReen sesekali merengut pada TaeMin, tapi tak lama kemudian wajahnya sudah penuh dengan senyuman lagi. Sementara TaeMin, ekspresi wajahnya penuh dengan keceriaan dan kegembiraan. Hmmm…rupanya begitu ekspresi orang yang sedang jatuh cinta ya? Penuh dengan kegembiraan jika ada di dekat orang yang mereka sayangi.
Tapi…tunggu dulu! Bukankah aku juga menyukai AhReen? Lalu kenapa aku tidak merasa cemburu dengan kedekatan mereka berdua sekarang? Aku tidak pernah merasa iri, ataupun sebagainya pada TaeMin, seperti biasanya yang terjadi pada orang lain. Setidaknya itu yang aku ketahui lewat novel-novel yang dulu aku baca. Lalu, apakah aku masih menyukai AhReen? Atau selama ini rasa sayangku padanya bukanlah rasa sayang seperti yang aku kira selama ini?
I don’t know what to do
How do did you start love?
People who have loved please tell me

***
“Aku tidak tahu hyung, yang aku tahu saat aku bersama orang yang aku sukai aku sangat senang dan merasa bahagia. Seakan aku bersedia melakukan apa saja agar gadis itu bisa tersenyum, merasa bahagia dan tersenyum lagi. Tapi aku terkadang juga merasa cemburu saat dia sedang bersama namja lain, terlihat bahagia dengan namja lain, bukannya denganku…” jawaban KiBum lagi-lagi membuatku tertegun. Benarkah apa yang dia katakan? Lalu apakah sebenarnya yang aku rasakan pada AhReen?
“Apakah hyung pernah merasa cemburu saat dia dekat dengan namja lain?” KiBum balik menanyaiku saat aku bertanya tentang perasaanku pada AhReen.
“Rasanya…tidak!”
“Apa hyung merasa bahagia saat bersama AhReen?”
Aku mengangguk.
“Hyung menyukai saat-saat bersama AhReen?” lagi-lagi aku mengangguk sebagai jawaban.
“Lalu apa hyung pernah merasa bahwa kebersamaan denga AhReen terasa begitu cepat? Seakan kau mengalami time warping dan kau tidak pernah ingin berpisah darinya?”
Aku terdiam sedikit lama, rasanya aku tidak mengalami hal itu saat bersama AhReen. Justru aku merasa mengalami time warping saat bersama HeeJin.
“Kau tahu, hyung? Menurutku rasa sayangmu pada AhReen hanya sebatas rasa sayang seorang oppa pada yeodongsaeng-nya saja!”
Mwo? Apa yang dia katakan? Lalu….
“Hyung, kenapa kau mengernyit begitu? Kau memikirkan HeeJin juga?”
“Ne, aku juga memikirkan HeeJin. Apakah aku juga menganggap dia sebagai adikku? Nan molla…..”
KiBum tersenyum aneh, seakan senyumnya menyimpan sebuah rahasia. “Baiklah, aku akan menanyakan hal yang sama pada hyung! Apakah hyung pernah merasa cemburu saat HeeJin dekat dengan namja lain?”
Aku tertegun, memikirkan hal itu dan berusaha jujur pada diriku sendiri,seperti yang selalu dikatakan HeeJin.
“Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah melihat HeeJin dekat dengan namja lain sepengetahuanku” aku menjawab jujur.
“Tapi bagaimana seandainya dia di dekati oleh namja lain? Choi Minho dari jurusan Ilmu Hukum, misalnya?”
Entah mengapa gagasan ini tidak aku sukai. Aku tidak suka memikirkan HeeJin dekat dengan cowok lain, seperti cowok idola kampus Choi MinHo sekalipun.
KiBum tersenyum mendengar gagasanku.
“Apa hyung merasa bahagia saat bersama HeeJin?”
Aku mengangguk. Ya, aku merasa bahagia saat aku tahu bisa bersama HeeJin dan mengobrol banyak dengannya. Membayangkannya aku sudah merasa bahagia.
“Hyung menyukai saat-saat bersama HeeJin?” lagi-lagi aku mengangguk sebagai jawaban.
“Lalu apa hyung pernah merasa bahwa kebersamaan dengan HeeJin terasa begitu cepat? Seakan kau mengalami time warping dan kau tidak pernah ingin berpisah darinya?”
Untuk pertanyaan ini, aku mengangguk tanpa pikir panjang. Aku sering merasa seperti itu pada HeeJin.
“Kalau begitu sudah jelas! Hyung menyukai HeeJin sebagai seorang perempuan! Dan bukan sekedar suka, hyung juga menyayanginya!” KiBum tertawa lebar. Sepertinya puas dengan hasil analisisnya sendiri. Ah ya, aku lupa kalau KiBum ini adalah mahasiswa jurusan psikologi tingkat dua. Dia sepertinya sudah pintar menganalisis pikiran dan sifat orang.
“Aaaaiissshhh…aku belum sepintar itu, hyung! Masih kalah denga JeeHa!” ucapnya saat aku memuji analisisnya.
“Mwo? JeeHa? Nugueoyo? Teman kuliahmu?” aku menggodanya.
“Aniyoo…..dia bukan siapa-siapaku! Beneran, sumpah!” KiBum terlihat panik, mukanya sedikit memerah. Hmm..rupanya dia pun sedang jatuh cinta.
“Ya sudah, terserah kau lah! Oh ya, kita saling berjuang ya untuk mendapatkan cinta masing-masing!” aku kembali menggodanya, lalu aku melompat bangun dari kursi ruang klub ketika aku melihat kelebatan sosok HeeJin. “KiBum ah, gumawoyo! Sekarang aku sudah tidak ragu dan bingung lagi!”
Aku menghampiri sosok HeeJin dengan senyum lebar yang terkembang. Ya, sekarang aku yakin bahwa aku hanya menyukai HeeJin. Aku menyayanginya.
***
I’m entraced by your long, straight hair
I feel dizzy when you pass me by
Whenever the happens
I want to call out your pretty name, like this

Those red lips, those red sweet red lips of yours
My heart fluetters, I tremble more and more
Everytime I see you, I want to have you
Shall we have a cup of tea together and talk?

***
Aneh, hari ini HeeJin sangat aneh. Biasanya dia ceria dan cerewet, selalu membicarakan tentang segala hal yang menarik perhatiannya. Tapi hari ini dia berubah pendiam. Ada apa dengannya?
“HeeJin ah, waegeurae? Kenapa kau berubah menjadi pendiam? Padahal biasanya kau cerewet sekali?” akhirnya saat kami makan malam di salah satu kafe langganan kami, aku memberanikan diri bertanya. “Kau lagi dapat tamu bulanan?”
HeeJin malah mendelik marah padaku. Aku hanya bisa nyengir. Bukankah biasanya para yeoja selalu gampang marah, kesal dan bad mood kalau tamu bulanannya datang ya? Itu sih yang aku ketahui dari AhReen…
“Oppa…” aku menatap matanya. Akhir-akhir ini HeeJin mulai memanggilku oppa, dan aku senang sekali meskipun aku tidak memberitahunya. “Kau nggak suka aku menjadi pendiam seperti ini?”
Pertanyaan aneh. Menurutku, aku tidak keberatan kalau dia tidak banyak bicara seperti dulu lagi karena keberadaannya di sampingku saja aku sudah bahagia. Tapi aku tidak menjawab dengan alasan itu. Aku masih takut untuk mengutarakan perasaanku padanya, aku takut dia merasa tak nyaman setelah itu padaku.
“Tidak apa-apa sekali-kali kau menjadi pendiam, tapi tentunya aku akan sangat kehilangan suara cerewetmu nanti!” aku mencoba bergurau, tapi kenapa HeeJin malah terlihat lebih murung? Apa aku salah ngomong?
“Oppa, besok aku mau potong rambut! Aku ingin mencoba potongan pendek!” dari nadanya, sepertinya dia meminta pendapatku.
“Kenapa? Aku lebih suka melihatmu berambut panjang. Kau terlihat lebih manis dengan rambut panjangmu…..”
Ah, lagi-lagi sepertinya aku salah ngomong karena HeeJin terlihat makin murung. Bahkan dia menggigit bibirnya sekarang, dan….hei dia menangis! Kenapa dia?
“HeeJin ah…kau kenapa? Ada sesuatu yang mengganjal hatimu? Marhaebwa….” Aku menggenggan lembut tangan HeeJin, tapi dia malah menghindar.
“Oppa, aku bukan dia…” dia mengucapkan kata-kata itu sambil tersendat-sendat menahan tangis. Dia? Dia siapa? Aku tidak mengerti meksudnya.
“Aku bukan gadis yang kau sayangi bukan? Aku hanyalah seorang gadis yang mirip dengan gadis yang kau sukai itu, oleh karena itu kau juga dekat dengan ku…” Aku memasang wajah bingung. HeeJin ah, aku tidak mengerti siapa yang kau maksud itu…
“Aku bukan AhReen, gadis yang Oppa sukai itu! Meskipun kami mempunyai penampilan yang mirip, tapi aku bukan dia Oppa! Aku bukanlah AhReenmu, aku HeeJin! Tak pernahkah kau memandangku sebagai HeeJin tanpa bayang-banyang AhReen yang menyertai?”
Aku tersentak kaget dengan pertanyaan HeeJin barusan. Benarkah aku menganggapnya pengganti AhReen? Tidak, aku rasa tidak. Tapi, dari mana dia mempunyai gagasan itu? Dan dari mana dia kenal dengan AhReen? Jangan-jangan saat……
“Oppa, aku pulang!” HeeJin tiba-tiba bangkit dari duduknya.
“Kajima!”panik, aku mencoba menahannya.
“Setidaknya, Oppa boleh menemuiku lagi saat Oppa bisa jujur pada dirimu sendiri… tapi maaf, untuk sekarang ini biarkan aku sendirian!” setelah mengucapkan kata-kata itu, dia keluar dari kafe sementara aku hanya bisa termenung. Untuk memandangi punggungnya saja aku tak mampu. Benarkah aku masih belum jujur pada diri sendiri? Lalu, apa yang harus aku lakukan agar aku bisa jujur? Apakah aku menipu diri sendiri? Tapi aku yakin, aku menyayangi HeeJin bukan karena menganggap dia sebagai pengganti AhReen. Aku menyayanginya, sebagai seorang wanita. Aku menyukainya seperti seorang namja menyukai yeoja, bukan oppa pada youdongsaengnya. Aku menyayanginya, Tuhan……
“…gadis….kecelakaan…” samar-samar aku mendengar seseorang di kafe ini berteriak.
“Seorang gadis yang baru saja keluar dari kafe ini, tertabak truk yang melaju kencang. Badannya sampai terpental beberapa meter jauhnya. Sekarang dia…”
Seorang yeoja…baru keluar dari kafe…badannya terlempar beberapa meter… Bagai tersambar ribuan petir sekaligus, aku tersadar. HeeJin! HeeJin dimana? Lalu, tanpa memperhatikan teriakan pelayan kafe itu, aku berlari menuruni tangga. Bergegas keluar, berusaha melihat apakah gadis itu HeeJin. Berlomba dengan waktu… Kakiku tidak lagi menginjak tanah……
***
Sebuah taman, dengan langit yang memamerkan bintang-bintangnya. Sebuah hati yang tertinggal di sana….
Separuh jiwa yang terpaksa tercerabut dari badannya…
Aku tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Pikiranku buntu, hanya tersisa raut wajah HeeJin yang bersimbah darah dan rasa bersalahku yang besar padanya.
Seandainya aku mencegahnya pulang saat itu…
Seandainya aku bersikap jujur lebih awal pada diriku sendiri dan pada HeeJin…
Seandainya aku tidak ragu pada perasaanku…
Seandainya aku bisa mengganti posisi HeeJin saat ini…
Seandainya…..
***
“Oppa, ada yang mencarimu!” aku sedang berkutat dengan tugas kampus di kamar ketika AhReen memanggilku.
“Siapa, Reennie?” tanyaku tanpa membalikkan badan.
Sejak kecelakaan yang menimpa HeeJin dua bulan lalu, aku menjadi sedikit pendiam. Dan sudah sebulan ini aku tidak lagi mengikuti kegiatan di klub universitas. Saat HeeJin masih koma, aku selalu menemaninya di rumah sakit, bergantian dengan kakak dan ibunya, tapi sejak dia sadar dari komanya seminggu kemudian, aku tidak mempunyai keberanian untuk bertemu dia. Aku masih takut bila aku tidak bisa jujur pada diriku sendiri.
Selama ini aku masih tetap bertanya-tanya, siapa yang aku sayangi sebenarnya. Dan aku masih belum menamukan jawaban yang pasti. Aku memang sering memikirkan HeeJin, tapi setelah itu aku juga memikirkan AhReen. Aku masih tidak tahu jawaban dari pertanyaanku, dan aku takut menyakiti HeeJin jika ternyata aku hanya memandangnya sebagai pengganti AhReen saja. Aku rela melakukan apa saja agar dia bisa hidup bahagia, termasuk jika aku harus hilang dari hadapannya dan juga dari hatinya.
“Aku, hyung!” terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku. Dan saat aku menoleh, aku melihat KiBum yang sedang berdiri di pintu kamarku.
“Ngapain kamu kesini?” aku cukup senang bertemu sahabatku yang satu ini, dan hey aku mendengar kabar kalau dia sedang mendekati seseorang di kampusnya.
“Bawa dia!” KiBum menolehkan kepala dan seketika tubuhku terasa membeku. Jonghyun, Kim JongHyun, kakak laki-laki HeeJin sedang menatapku tajam.
“JinKi sshi, aku boleh masuk kamarmu?” pamitnya dan aku menganggukkan kepala. Masih kaget karena kakaknya HeeJin datang menemuiku. Ada apa dengan HeeJin, sehingga JongHyun datang kemari? Apakah keadaannya tambah parah? Atau dia…..
Aku tak berani memikirkan kemungkinan selanjutnya. Yang aku lakukan hanya berdiam diri, memandangi JongHyun yang duduk di kasurku, tepat berhadapan denganku.
“JinKi sshi, kau mencintai HeeJin?” tanpa tedeng aling-aling JongHyun langsung menanyaiku tentang hal yang justru aku sendiri masih bingung. Tanpa sadar aku melirik ke arah pintu, disana AhReen sedang berdiri bersama KiBum. Aku tak mengerti arti tatapan AhReen padaku, yang aku tahu KiBum kemudian mengajak AhReen ke ruang tamu dan membiarkan aku bersama JongHyun.
“Kau tak bisa menjawabnya, karena kau juga mencintai sepupumu itu kan?”
“JongHyun sshi, apa maksudmu? Aku…aku…” ah, aku tak bisa menjawabnya. Aku masih bingung dan kalut dengan pikiranku sendiri. “Aku tidak tahu, perasaan macam apa yang aku rasakan pada adikmu. Yang aku tahu, aku ingin membahagiakannya. Aku ingin dia bisa hidup bahagia, meskipun itu artinya aku harus hilang dari hadapannya…”
BUGHGHGHG!!!
JongHyun memukul pipiku cukup keras. Pandangannya terlihat marah dan kesal.
“Dengarkan aku baik-baik, kau tahu apa yang terjadi dengan adikku kan? Kau tahu bahwa kau adalah penyebab adikku kecelakaan? Dan kau tahu, kau adalah penyebab adikku murung sampai sekarang! Dia terkapar di rumah sakit, tanpa adanya semangat hidup! Kau tahu siapa yang menyebabkan itu semua? KAU!!!!”
Aku tak bisa berpikir. HeeJin….HeeJin, dia….
“Kau tahu, ADIKKU MENCINTAIMU!!!” JongHyun berteriak frustasi. Bahunya bergetar, kemudian dia menghirup nafas dalam-dalam. “Aku tidak meminta banyak hal padamu. Aku tidak akan memintamu untuk mencintai adikku. Tapi aku memintamu untuk bersikap jujur pada dirimu sendiri, karena HeeJin selama ini mencemaskan sikapmu yang tak pernah jujur pada diri sendiri sehingga menyebabkan orang lain terluka.”
Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan atau aku katakan. HeeJin mencintaiku? Jadi itu penyebab dia murung hari itu? Alasan kenapa dia ingin memotong rambutnya, dan dia marah padaku karena dia mengira aku menganggapnya sebagai pengganti AhReen? HeeJin ah, kau tak tahu yang sebenarnya ku rasakan…
“JinKi sshi…” JongHyun terlihat sangat menderita. Aku tahu, dia sangat menyayangi adiknya, dan karena aku, adiknya sekarang menderita. “Aku minta padamu, temuilah adikku. Jika kau tidak menyayanginya, setidaknya katakan dengan jelas di hadapannya. Jangan biarkan dia menunggu dan terus menderita seperti ini…”
***
Keesokan harinya, aku memutuskan pergi ke rumah sakit tempat HeeJin dirawat. Namun sesanpainya aku di rumah sakit, aku tidak bisa membayang kan bagaimana aku harus bersikap. Tuhan, apa yang harus aku perbuat? Benarkah tindakanku ini?  Ku peluk buket bunga yang aku bawa untuk HeeJin agar aku bisa mendapat sedikit ketenangan.

Oke, JinKi kau tidak boleh nervous! Sekarang, atau tidak sama sekali!
Lalu, dengan langkah pelan aku perlahan mendekati ruang inapnya. Rasanya seakan-akan aku menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya. Aku berdiri di depan pintu bercat hitam dan menyenderkan punggung cukup lama. Tuhan, kenapa untuk melangkah masuk ke kamar ini saja aku tidak bisa? Kakiku sulit digerakkan, seperti kedua kakiku ini terbuat dari agar-agar saja.
JinKi, kau harus bisa! Jika tidak, aku akan kehilangan HeeJin untuk selamanya! Dengan gugup aku mengetuk pintu kamar itu.

Tok…tok…tok…
Lama tidak ada jawaban. Eottoehkaji? Apa HeeJin sedang keluar? Atau aku salah mengetuk kamar? Apa yang harus aku lakukan?
Aku tidak berani membayangkan jika seaindainya HeeJinlah yang membukakan pintu. Aku pasti akan tertunduk dan merasa bersalah. Laki-laki macam apa aku ini? HeeJin telah dirawat selama dua bulan disini dan aku sama sekali tidak menjenguknya. Padahal aku lah penyebab HeeJin terluka.
“Hyun-oppa, kenapa kau lama sekali baru kemba……”
HeeJin…HeeJin yang membukakan pintu untukku. Apa yang harus ku lakukan? Dia terlihat terkejut karena aku berdiri di depannya. Sepertinya dia akan mengatakan sesutau, tapi kemudian urung dan dia hanya menatapku. Tanpa sepengetahuannya, aku menyembunyikan buket bunga itu di balik punggungku. Aish, apa yang aku lakukan? Aku tidak sedang mengajaknya kencan kan? Lalu kenapa aku sembunyikan bunga itu di belakang punggungku? Dengan tangan yang aku rasa sedikit gemetar, aku memberikan bunga itu padanya.
“HeeJin ah, apa kabarmu? Maaf aku baru menjengukmu sekarang…” Tuhan, aku tidak ingin terlihat gugup di depannya, tapi kenapa suaraku terdengar bergetar?
“Ke…na..pa kau kesini?” aku tidak bisa menebak perasaannya. Dia terdengar terkejut, ragu dan sekaligus marah? Wajar dia marah padaku, aku yang menyebabkan dia seperti ini. “Lalu JongHyun-oppa kemana? Dia yang menyuruhmu kesini? Kau terpaksa bukan menjengukku? Aku tidak perlu kau kasihani! Aku tidak butuh belas kasihanmu!”
Bahunya terguncang, suaranya tiba-tiba serak.
Tuhan, apa yang aku lakukan padanya? Aku tidak ingin membutanya menangis, tapi sejauh ini yang aku lakukan padanya hanyalah terus membuatnya bersedih. Aku tidak ingin dia menangis, aku ingin dia tersenyum bahagia.
“JinKi sshi, tolong lepaskan aku. Aku tidak apa-apa…” dia kemudian mendorongku. Pelukanku terlepas. A…apa yang kulakukan? Tanpa sadar aku memeluknya. Sontak aku merasa wajahku sangat panas, seakan seluruh darahku naik ke kepala dan berkumpul di wajahku semua.
“Hihihi…JinKi sshi, kau tidak berubah ya?” HeeJin akhirnya tersenyum sambil mengusap sisa air matanya, senang rasanya dia bisa tersenyum lagi. Aku tidak suka melihat dia menangis ataupun sedih. “Mari, silahkan masuk!”
Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam kamar inapnya. Langkahnya sedikit pincang. Apakah karena kecelakaan itu? Selama ini aku tidak mendengar kabarnya sama sekali. Saat dokter menjelaskan padaku tentang kecelakaan dan luka-luka yang dia derita, aku sama sekali tidak memperhatikan. Aku terlanjur kebas, tidak memperhatikan sekeliling. Yang aku ingat saat itu hanya HeeJin, keselamatan HeeJin, serta beyangan tubuh dan wajah HeeJin yang berlumur darah di pinggir jalan.
“HeeJin ah, kakimu kenapa?” aku bertanya saat aku sudah duduk di depannya dan dia sudah kembali duduk bersadar di atas ranjangnya. HeeJin hanya tersenyum mendengar pertanyaanku. Senyumnya lain, dia tersenyum pahit seakan menyembunyikan sesuatu.
“HeeJin ah, mianheyo…” aku memegang tangannya. JinKi, apa yang kau lakukan? Kenapa aku memegang tangannya? Aku kembali panik, dan segera melepas genggaman tanganku.
“JinKi sshi, kenapa raut wajahmu seperti itu? Kau merasa bersalah? Kenapa?” mata itu, mata yang sangat aku sukai. Mata yang bening dan memandang sesuatu dengan ketulusan yang terpancar jelas. Bibir mungilnya tersenyum…
Lalu tangannya menyapu wajahku lembut dan terhenti di pipi kiriku. Aku hanya tersenyum dan memegang tangannya yang sedang menyentuh wajahku. Kemudia aku mengambil tangan satunya yang bebas. Tangannya begitu mungil, dengan jari-jari kecil panjang lentik. Lalu entah keberanian darimana yang mempengaruhiku aku mengecup tangannya.
“Ji…Jin..JinKi sshi, apa maksudmu?” dia mencoba menarik tangannya, tapi kali ini aku bertekad tak akan melepaskannya lagi.
“HeeJin ah, saranghaeyo… Would you be my queen?” aku menatap matanya lembut, atau setidaknya itulah yang aku rasakan. Dia hanya menatapku terpana, lalu tersenyum bahagia. Pelan, dia menganggukkan kepalanya pertanda mengiyakan.
Niga paboya! Apa aku harus mengalami kecelakaan dulu baru kau mengatakannya?” ucapnya sambil tersenyum. Kulihat titik air mata di sudut matanya, aku akan menghapusnya tapi HeeJin menggeleng, mencegahku menghapusnya. “Aku menangis bahagia, tidak perlu kau hapus!”
Aku hanya tersenyum. Dan kemudian aku memeluk tubuhnya. Tuhan, terima kasih kau telah mendatangkan seorang wanita spesial bernama Kim HeeJin padaku.
***
Sometimes when you’re sad
I don’t know your feelings
During then, I kiss you
I kiss your small hands
If it makes you feel better
I would do I several times

Call me, my name
Today is exactly your day
I’ll do anything for you
I want to give you a small gift
That only I can give to you
I’ll run to you now and confess


-THE END-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar